Minggu, 10 April 2011

HUKUM TEKNOLOGI REPRODUKSI BUATAN DI INDONESIA

PERKEMBANGAN HUKUM TEKNOLOGI REPRODUKSI BUATAN
DI INDONESIA
Law development in Assisted Reproductive Technology in Indonesia

dr.Yendi


PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk hidup memiliki naluri untuk menjaga kelangsungan hidupnya di dunia. Salah satu sifat insaniah manusia adalah melanjutkan keturunannya sebagai pewaris peradabannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ikut berpengaruh terhadap cara manusia mengembangkan keturunannya, sehingga saat ini terdapat dua cara manusia melangsungkan dan memperoleh keturunannya, yaitu secara alamiah yang dilakukan melalui hubungan langsung antara lawan jenis dan melalui pemanfaatan teknologi yang dikenal juga dengan teknologi reproduksi buatan atau Assisted Reproductive Technology/ART.
Teknik bayi tabung (InVitro Fertilization) dan teknik ibu pengganti (surrogate mother) adalah metode teknologi reproduksi buatan yang dilakukan saat ini. Assisted Reproductive Technology/ART mengalami kemajuan yang pesat di berbagai negara terutama di Eropa. Kelahiran bayi melalui teknologi reproduksi buatan di 28 negara di Eropa dilaporkan mencapai 70.000 jiwa pada tahun 2007. Di Indonesia teknologi reproduksi buatan ini juga mulai lebih dikenal dan sering dilakukan akhir-akhir ini, seperti In Vitro Fertilization (IVF) atau dikenal dengan teknik bayi tabung.  Tehnik ini memang  menjadi pilihan bagi pasangan suami istri terutama yang belum dikaruniai anak.


PERMASALAHAN

Penerapan teknologi reproduksi buatan berhubungan dengan sekumpulan permasalahan yang komplek sehingga diperlukan suatu pengaturan hukum agar terdapat jaminan kepastian hukum dalam pelaksanaan teknologi reproduksi buatan. Perhatian semakin meningkat terhadap masalah hukum yang berkaitan dengan penerapan teknologi reproduksi buatan di negara-negara yang menerapkan teknologi tersebut. Hal ini juga diikuti oleh peningkatan jumlah kasus serta keberagaman keputusan pengadilan di seluruh dunia mengenai penerapan teknologi ini.
Peraturan dan legalitas yang jelas sangat diperlukan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program teknologi reproduksi buatan. Masing-masing negara mempunyai kebijakan tersendiri mengenai legalitas, pembatasan, serta ketentuan teknis pelaksanaan teknologi reproduksi buatan, tapi tetap mengacu pada penghormatan terhadap hak asasi manusia yang disesuaikan dengan kultur dan budaya negara tertentu.
Dengan demikian ruang lingkup permasalahan  pada tulisan ini adalah :
1.             Bagaimana gambaran mengenai teknologi reproduksi buatan?
2.             Bagaimana tinjauan hukum dalam penerapan teknologi reproduksi buatan?



PEMBAHASAN

3.1.    Teknologi Reproduksi Buatan
Pada dasarnya proses pembuahan yang alami terjadi dalam rahim manusia melalui cara yang alami pula (hubungan seksual). Akan tetapi pada kondisi tertentu pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud. Kondisi ini menyebabkan infertilitas yang menyebabkan manusia tidak dapat memiliki keturunan.
Teknologi reproduksi buatan merupakan bagian dari pengobatan infertilitas. Infertilitas dikatakan sebagai kelainan atau kondisi sakit dalam masalah reproduksi. Manusia pada dasarnya mempunyai hak untuk bebas dari sakit. Apabila infertilitas merupakan manifestasi dari sakit maka semua manusia mempunyai hak untuk bebas dari kondisi infertil atau dengan kata lain berhak untuk bereproduksi. Teknologi reproduksi buatan digunakan untuk mengatasi infertilitas ini, dimana apabila reproduksi secara alami tidak memungkinkan dilakukan maka teknik reproduksi buatan dapat diterapkan.
Teknologi ini memberi kesempatan kepada pasangan suami istri yang memiliki masalah dengan proses reproduksi untuk memiliki keturunan yang tetap berasal dari benih mereka. Hak reproduksi tidak hanya berarti hak untuk memperoleh keturunan, tetapi lebih luas lagi berarti hak untuk hamil atau tidak hamil, hak untuk menentukan jumlah anak, hak untuk mengatur jarak kelahiran.
Teknologi reproduksi buatan mencakup setiap fertilisasi yang melibatkan manipulasi gamet (sperma, ovum) atau embrio diluar tubuh serta pemindahan gamet atau embrio ke dalam tubuh manusia. Teknik bayi tabung (InVitro Fertilization) dan teknik ibu pengganti (Surrogate Mother) termasuk dalam teknologi reproduksi buatan ini.
Pada perkembangannya teknologi reproduksi buatan semakin berkembang menjadi beberapa teknik sebagai berikut:
1.        In Vitro Fertilization & Embryo  Transfer (IVF & ET)
2.        Gamete Intrafallopian Transfer (GIFT)
3.        Zygote Intrafallopian Transfer (ZIPT)
4.        Cryopreservation
5.        Intra Cytoplasmic Sperm Injection
6.        Pre-Implantation Genetic Diagnosis
7.        Sex Selection.
Dalam perkembanganya selanjutnya muncul istilah-istilah lain yang berhubungan dengan teknik reproduksi buatan seperti : Stem cell, Human cloning, Assisted hatching, Follicular maturation, serta penelitian lain, misalnya transplantasi uterus, transplantasi ovarium, dan transplantasi endometrium.

3.1.1   Teknik Bayi Tabung (InVitro Fertilization)
Teknik bayi tabung atau pembuahan in vitro (in vitro fertilisation) adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair. Teknik bayi tabung pada manusia sebagai suatu teknologi reproduksi berupa teknik menempatkan sperma di dalam vagina wanita, pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun 1970. Awal berkembangnya teknik bayi tabung bermula dari ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat Fahrenheit.
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopii istrinya mengalami kerusakan yang permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan.
Dalam melakukan fertilisasi-in-virto transfer embrio dilakukan dalam tujuh tingkatan dasar yang dilakukan oleh petugas medis, yaitu :
1.        Wanita diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.
2.        Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah dan pemeriksaan ultrasonografi.
3.        Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi) melalui vagina dengan tuntunan ultrasonografi.
4.        Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi dengan sel sperma suami yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik.
5.        Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel
6.        Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini kemudian diimplantasikan ke dalam rahim wanita. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.
7.        Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Berdasarkan asal sumber sperma pada proses bayi tabung maka secara teknis teknik bayi tabung terdiri dari empat jenis, yaitu:
1.             Teknik bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang dimasukkan kedalam rahim isterinya sendiri.
2.             Teknik bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang dimasukkan ke dalam rahim selain isterinya. Atau disebut juga sewa rahim (Surrogate Mother).
3.             Teknik bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari bukan suami/isteri.
4.             Teknik bayi tabung dengan sperma yang dibekukan dari suaminya yang sudah meninggal.



3.1.2. Teknik Ibu Pengganti (Surrogate Mother)
Teknik ibu pengganti dapat diartikan sebagai penggunaan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah dibuahi oleh benih lelaki (sperma), dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut sehingga dilahirkan.  Menurut Black's Law Dictionary yang dimaksud Surrogate mother adalah: “1. A woman who carries a child to term on behalf of another woman and then assigns her parental rights to that woman and the father. 2. A person who carries out the role of a mother”. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai wanita yang menggunakan rahimnya untuk hamil dimana janin yang dikandungnya tersebut milik wanita lain dan setelah bayi lahir hak kepemilikan atau hak asuh bayi tersebut diserahkan kepada wanita lain tersebut dan ayah dari bayi tersebut. Praktek surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah.
Kaedah ini dikenal juga dengan sewa rahim karena lazimnya pasangan suami isteri yang ingin memiliki anak ini akan memberikan imbalan kepada ibu pengganti yang sanggup mengandung benih mereka, dengan syarat ibu pengganti tersebut akan menyerahkan anak setelah dilahirkan atau pada waktu yang telah ditetapkan sesuai perjanjian. Teknik ibu pengganti biasanya dilakukan bila istri tidak mampu atau tidak boleh hamil atau melahirkan. Embrio dibesarkan dan dilahirkan dari rahim wanita lain bukan istri walaupun bayi itu menjadi milik pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak tersebut.


Beberapa alasan yang menyebabkan dilakukan teknik sewa rahim, adalah:
1.        Seorang wanita tidak mempunyai harapan untuk hamil secara normal karena suatu penyakit atau kecacatan yang menghalanginya untuk hamil dan melahirkan anak.
2.        Rahim wanita tersebut dibuang karena pembedahan.
3.        Wanita ingin memiliki anak tetapi tidak mau menjalani proses kehamilan, melahirkan dan menyusui anak serta keinginan untuk memelihara bentuk tubuh dengan menghindari akibat dari proses kehamilan dan kondisi tubuh setelah melahirkan.
4.        Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah mengalami menopause.
5.        Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan menyewakan rahimnya kepada orang lain.
Secara umum terdapat 5 bentuk tipe teknik sewa rahim, yaitu:
1.        Sel telur isteri dipertemukan dengan sperma suami, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki sel telur yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
2.        Sama dengan tipe yang pertama, kecuali sel telur dan sperma yang telah dipertemukan tersebut dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu pengganti setelah kematian pasangan suami isteri itu.
3.        Sel telur isteri dipertemukan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi sel telur isteri dalam keadaan baik.
4.        Sperma suami dipertemukan dengan sel telur wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri mengalami penyakit pada kandung telur dan rahimnya sehingga tidak mampu menjalani kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap menopause.
5.        Sperma suami dan sel telur isteri dipertemukan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain  sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.

3.2. Tinjauan Hukum Teknologi Reproduksi Buatan
3.2.1 Tinjauan Hukum Dan Etik Dari Berbagai Negara Dan Organisasi
Inggris
Inggris merupakan negara pertama yang mempunyai peraturan tentang teknik reproduksi buatan. Tahun 1982 dibentuk Committee of Enquiry into Human Fertillisation and Embryology yang dipimpin oleh Dame Mary Warnock. Komite ini bertujuan untuk memberi masukan, pandangan dan pertimbangan pada pemerintah menyangkut aspek-aspek sosial, hukum, etika dan moral di masyarakat yang berkaitan dengan perkembangan fertilisasi manusia dan embriologi. Komite ini terkenal dengan Warnock Report-nya pada tahun 1984 yang menekankan pentingnya pengaturan tentang teknik reproduksi buatan.
Tahun 1990 dibentuk suatu badan independen yang dinamakan Human Fertillsation and Embriology Authority (HFEA) yang berfungsi sebagai penasehat dalam pelaksanaan kegiatan penelitian reproduksi buatan dan pemberian ijin legalnya, serta melakukan pengawasan terhadapnya.
Beberapa kebijakan HFEA melarang :
1.        Penelitian dan penyimpanan terhadap embrio manusia yang berusia lebih dari 14 hari
2.        Menyimpan gamet atau embrio manusia pada binatang atau sebaliknya
3.        Menyimpan atau menggunakan embrio manusia untuk tujuan lain, selain untuk tujuan memperoleh keturunan bagi pasangan yang diatur peraturan lain
4.        Melakukan cloning untuk tujuan reproduksi manusia

The International Islamic Center for Population Studies and Research
Dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh The International Islamic Center For Population Studies and Research bertempat di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dihasilkan pernyataan antara lain:
1.        Fertilisasi in vitro diperbolehkan, kecuali menggunakan sperma, ovum atau embrio didapat dari donor.
2.        Pre-Implantation Genetic Diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk menghindari adanya penyakit genetis, tetapi sex selection tidak diperbolehkan.
3.        Penelitian untuk pematangan folikel (follikel maturation), pematangan oosit in-vitro atau pertumbuhan oosit in-vitro  diperbolehkan.
4.        Implantasi embrio pada suami yang telah meninggal, belum mempunyai keputusan yang tetap.
5.        IVF pada ibu pasca menopause dilarang, karena beresiko tinggi pada ibu dan bayinya
6.        Transplantasi uterus masih dalam pertimbangan, penelitian pada binatang diperbolehkan.
7.        Penggunaan stem cells untuk pengobatan masih dalam perdebatan, diharapkan dapat disetujui.
8.        Reproductive cloning atau kloning pada manusia, dilarang.

International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)
Beberapa ketentuan etik yang dikeluarkan FIGO antara lain:
1.        Preconceptional sex selection untuk maksud diskriminasi seks dilarang, tetapi untuk menghindari penyakit tertentu, misalnya sex-linked genetic disorders, penelitiannya dapat dilanjutkan.
2.        Reproductive cloning atau kloning pada manusia, dilarang
3.        Theraupetic cloning (stem cell) dapat disetujui
4.        Penelitian pada embiro manusia, sampai 14 hari pasca fertilisasi (pre-embrio), tidak termasuk periode simpan beku:
·       Diperbolehkan apabila tujuannya bermanfaat untuk kesehatan manusia.
·       Harus mendapat ijin dari pemilik pe-embrio.
·       Harus disyahkan oleh komisi atau badan khusus yang mengatur hal tersebut.
·       Tidak boleh ditransfer ke dalam uterus, kecuali untuk mendapatkan outcome kehamilan yang lebih baik.
·       Tidak untuk tujuan komersial.
5.        Tidak etis melakukan hal-hal berikut:
  • Melakukan penelitian, seperti kloning setelah masa pre-embrio (14 hari setelah fertilisasi).
  • Mendapatkan hybrid dengan fertilisasi inter-spesies.
  • Implantasi pre-embrio ke dalam uterus spesies lain.
  • Manipulasi genome pre-embrio, kecuali untuk tujuan pengobatan suatu penyakit.

3.2.2. Hukum Dan Etika Reproduksi Buatan Di Indonesia
Di Indonesia, hukum dan perundangan mengenai teknik reproduksi buatan diatur dalam:
1.        UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127 menyebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a)         Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b)        dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c)         pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2.      Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan: ketentuan umum, perizinan, pembinaan, dan pengawasan, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.
Selanjutnya Keputusan MenKes RI tersebut dibuat Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, DepKes RI, yang menyatakan bahwa:
1.        Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma dan sel telur pasangan suami-istri yang bersangkutan.
2.        Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga sehinggan kerangka pelayannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.
3.        Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak lebih dari 3, boleh dipindahkan 4 embrio dalam keadaan:
·           Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru lahir.
·           Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal.
·           Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4.        Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun
5.        Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ova atau embrio
6.        Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian, Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan sangat jelas
7.        Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada embrio manusia dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi
8.        Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak boleh dibiakkan in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu impan beku)
9.        Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen terhadap atau menggunakan sel ova, spermatozoa atau embrio tanpa seijin dari siapa sel ova atau spermatozoa itu berasal.
10.    Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi tran-spesies tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fretilisasi trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel.
Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi  dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya: menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, menghimbau ilmuwan khususnya kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada manusia, dan mendorong agar ilmuwan tetap menggunakan teknologi kloning pada :
1.        sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan misalnya untuk pembuatan zat antigen monoclonal.
2.        sel atau jaringan hewan untuk penelitian klonasi organ, ini untuk melihat kemungkinan klonasi organ pada diri sendiri.

Aspek Hukum Bayi Tabung (InVitro Fertilization)
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi teknologi ini juga rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika.
Teknologi bayi tabung merupakan upaya kehamilan di luar cara alamiah. Dalam hukum Indonesia, upaya kehamilan di luar cara alamiah diatur dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a)        Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b)        dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c)        pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
 Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Permasalahan perdata yang timbul berkaitan dengan teknologi bayi tabung antara lain adalah:
1.        Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses bayi tabung?
2.        Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah ia mempunyai hak mewaris?
3.        Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya? Darimanakah ia memiliki hak mewaris?
Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap teknologi bayi tabung:
1.        Jika benihnya berasal dari Suami Istri.
a.         Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
b.         Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH Perdata.
c.         Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata.)
d.        Jika salah satu benihnya berasal dari donor
1.        Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal 250 KUH Perdata.
2.        Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
3.        Jika semua benihnya dari donor
1.    Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
2.    Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.
Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program fertilisasi-in-vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat menutup kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya.
Berdasarkan asas leg spesialis retrograde leg generale dalam ketentuan hukum maka berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia teknologi bayi tabung yang diperbolehkan adalah yang sesuai dengan ketentuan pasal 127 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, dimana sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri dan ditanamkan dalam rahim istrinya tersebut. Dengan demikian, walaupun terdapat ketentuan lain yang mengatur mengenai hubungan perdata dalam proses inseminasi buatan dan teknologi bayi tabung selain yang diatur UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, ketentuan tersebut akan batal dengan sendirinya demi hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih spesifik mengatur masalah tersebut, dalam hal ini UU Kesehatan No. 36 tahun 2009.

Aspek Hukum Ibu Pengganti (Surrogate Mother)
Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a)        Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b)        dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c)        pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
 Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Sebagai informasi tambahan, praktek transfer embrio ke rahim titipan (bukan rahim istri yang memiliki sel telur tersebut) telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 26 Mei 2006.
Praktek ibu pengganti atau sewa menyewa rahim belum diatur di Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada perlindungan hukum bagi para pelaku perjanjian ibu pengganti ataupun sewa menyewa rahim.
Dalam pasal 1338 KUHPer memang diatur mengenai kebebasan berkontrak, di mana para pihak dalam berkontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya:
 Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUHPer yaitu:
1.    Kesepakatan para pihak;
2.    Kecakapan para pihak;
3.    Mengenai suatu hal tertentu; dan
4.    Sebab yang halal.
Jadi, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (pasal 1320 jo pasal 1337 KUHPer). Sedangkan praktek ibu pengganti bukan merupakan upaya kehamilan yang ”dapat dilakukan” menurut UU Kesehatan. Dengan demikian syarat sebab yang halal ini tidak terpenuhi.
Dalam konteks tidak dipenuhinya persyaratan yang menyangkut syarat yang melekat pada objek perjanjian (sebab yang halal) bisa berakibat antara lain:
1.        menjadi dasar atau alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut kebatalan demi hukum perjanjian tersebut karena perjanjian tidak memenuhi syarat sebab atau kausa yang halal, dan
2.        tidak ada landasan hukum bagi wanita pemilik sel telur atau suaminya untuk menuntut si ibu pengganti dalam hal ia tidak mau menyerahkan bayi yang dititipkan dalam rahimnya tersebut.
 Hal lain yang penting diperhatikan dalam ibu pengganti adalah hak-hak anak yang terlahir dari ibu pengganti tidak boleh terabaikan, khususnya hak identitas diri yang dituangkan dalam akta kelahiran (lihat pasal 27 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Apabila terjadi perselisihan antara Ibu dengan si ibu pengganti, maka penyelesaiannya harus mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi si anak.

3.2.3 Dilema Etik Dan Hukum Dalam Teknik Reproduksi Buatan
Semakin berkembangnya teknologi Reproduksi Buatan dan dan semakin berkembangnya dinamika pemikiran masyarakat mengenai etika, norma, nilai dan keyakinan yang dianut. Dalam satu sisi perkembangan teknologi tidak dapat dibendung sedangkan perangkat yang mengatur etika dan hukum belum dapat mengikuti. Sebagai hasilnya, penilaian benar atau tidak hanya didasarkan pada sisi kepentingan saja. 
Gap yang terjadi ini memerlukan diskusi dan pemikiran dari para ahli dari lintas disiplin sehingga hal-hal yang dapat menurunkan derajat dan martabat manusia yang mungkin terjadi dalam penyelenggaraan teknik reproduksi buatan dapat dihindari.


KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.   Kesimpulan
1.        Teknologi reproduksi buatan merupakan hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada prinsipnya bersifat netral dan dikembangkan untuk meningkatkan derajat hidup dan kesejahteraan umat manusia. Dalam pelaksanaannya akan berbenturan dengan berbagai permasalahan moral, etika, dan hukum yang komplek sehingga memerlukan pertimbangan dan pengaturan yang bijaksana dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dalam penerapan teknologi reproduksi buatan dengan tetap mengacu kepada penghormatan harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
2.        Pandangan internasional terhadap teknologi reproduksi buatan memiliki kesamaan terhadap tujuan pelaksanaan dan pengembangan teknologi reproduksi buatan yaitu dalam rangka memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam batas-batas penghargaan terhadap hak asasi manusia serta harkat dan derajat manusia untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
3.        Hukum Indonesia mengatur mengenai teknologi reproduksi manusia sebatas upaya kehamilan diluar cara alamiah, dengan sperma dan sel telur yang berasal pasangan suami isteri dan ditanamkan dalam rahim isteri. Dengan demikian teknologi bayi tabung yang sperma dan sel telurnya  berasal dari suami isteri dan ditanamkan dalam rahim isteri diperbolehkan di Indonesia, sedangkan teknik ibu pengganti (surrogate mother) tidak diizinkan dilakukan.

4.2 Saran
1.        Agar pemerintah dan organisasi profesi memperkuat pengawasan dan meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya kontrol etika dan moral dalam penerapan teknologi reproduksi buatan serta membuat dan menerapkan peraturan yang jelas dalam rangka memberikan rambu-rambu dalam pelaksanaan teknologi tersebut sehingga mampu memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam penerapan teknologi reproduksi buatan.
2.        Agar semua praktisi yang terlibat dalam teknologi reproduksi buatan memperhatikan aspek moralitas, etika, dan ketentuan hukum yang berlaku sehingga segala tindakan yang dilakukan tetap berada dalam koridor yang benar dan terhindar dari permasalahan hukum.



DAFTAR PUSTAKA

1.        Benagiano G, Carrara S, Filippi V. Sex and reproduction: an evolving relationship. Hum Reprod Update. 2009; 16 (1): 96-107.
2.        Garner BA, Schultz DW, Cooper LA, Powell EC, editor. Black’s law dictionary. Edisi ke-7. Minnesotta: West Group; 1999.
3.        Hanafiah MJ. Reproduksi manusia. Dalam: Hanafiah MJ, Amir A, editor. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999. h. 94-115.
4.        Kharb D. Assisted reproductive techniques ethical and legal concern. The Internet Journal of Law, Healthcare and Ethics. 2007: 4 (2).
5.        Dirjen Pelayanan Medik. Pedoman pelayanan bayi tabung di rumah sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2000.
6.        Semiawan C, Setiawan TI, Yufiarti. Reproduksi dan bioteknologi. Dalam: Semiawan C, Setiawan TI, Yufiarti, editor. Panorama filsafat ilmu. Jakarta: Penerbit Teraju; 2007. h. 41-55.

Dasar hukum peraturan perundang-undangan:
1.        Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2.        Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
3.        Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4.        Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan.
5.        Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia No. 221/PB/A.4/2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar