Rabu, 15 Juni 2011

Bencana Sirkulasi Setelah Infiltrasi Lokal Epinefrin


Oleh: dr.Yendi

Tindakan infiltrasi lokal epinefrin pada daerah pembedahan sering dilakukan pada suatu pembedahan. Tujuannya adalah untuk profilaksis hemostasis dan visibility. Walaupun tindakan ini bertujuan untuk mengurangi perdarahan saat pembedahan namun tindakan ini juga dapat menyebabkan terjadinya bencana sirkulasi seperti hipertensi berat, takikardi, disritmia, iskemik miokardia atau edema paru.
Sangat penting untuk mengetahui resiko sirkulasi yang disebabkan oleh infiltrasi lokal epinefrin serta mendeteksi secara cepat kejadian tersebut sehingga dapat diambil tindakan cepat dan tepat dalam penatalaksanaannya.

Epinefrin
Epinefrin merupakan prototype obat golongan simpatomimetik yang termasuk ke dalam naturally occurring cathecolamine bersama dengan norepinefrin serta dopamin.
Epinefrin tidak dapat diberikan secara oral karena dimetabolisme secara cepat oleh mukosa gastrointestinal dan hepar. Karenanya, epinefrin diberikan secara SC, IM atau IV.
Epinefrin bekerja pada multi adrenoreseptor, α1, α2, β1 dan β2 reseptor. Dengan demikian efek klinisnya pun akan susah di prediksi karena saling tindih efek yang dihasilkan masing-masing reseptor tersebut.
Reseptor α1 merupakan adrenoreseptor postsinaptik yang berada pada otot polos diseluruh tubuh, pada mata, paru-paru, pembuluh darah, uterus, usus dan sistem genitor urinaria. Aktivasi reseptor ini menyebabkan kontraksi otot. Reseptor  α1 papa miokardium menghasilkan efek inotropik positif dan kronotropik negative. Efek paling penting pada kardivaskular adalah vasokonstriksi, yang akan meningkatkan resistensi vascular perifer, afterload ventrikel kiri dan tekanan darah.
Reseptor α2 terdapat di presinaptik. Bekerja dengan menghambat aktifitas adenilat siklase sehingga menghambat pelepasan norepinenefrin dari neuron. Pada otot polos vascular terdapat reseptor α2 yang menyebabkan vasokonstriksi. Terpenting, stimulasi reseptor α2 di SSP menyebabkan sedasi dan menurunkan simpatik outflow sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan tekanan darah.
Reseptor β1 terdapat membran postsinaptik di jantung. Efeknya adalah kronotropik, inotropik dan dromotropik positif,
Reseptor β2 terletak postsinaptik di otot polos dan sel glandula. Mekanisme kerjanya seperti β1 melalui aktivasi adenilat siklase. Stimulasi reseptor ini menyebabkan vasodilatasi, bronkodilatasi, dan tokolisis. Reseptor ini juga mengaktifkan Na-K pump sehingga dapat terjadi hipokalemia dan disritmia karena pergerakan kalium ke intraselluler.
Secara umum fungsi alami epinefrin adalah regulasi:
           Kontraksi miokardium
           Heart rate
           Tonus otot polos vascular dan bronchial
           Sekresi glandula
           Proses metabolic seperti glikogenolisis dan lipolisis

Kegunaan klinis epinefrin:
          Campuran pada anestesi lokal untuk menurunkan absorpsi sistemik dan memperpanjang durasi anestesi lokal (konsentrasi 1:200.000)
          Profilaksis hemostasis serta meningkatkan visibility pada pembedahan melalui infiltrasi lokal pada area pembedahan
           Terapi reaksi alergi yang fatal
           Sebagai obat pada CPR
           Continous infusion untuk meningkatkan kontraktilitas miokardium

Sympathetic nervous system activation
Manifestasi sistemik aktivasi system saraf simpatik termasuk hipertensi sistemik, takikardia, disritmia, iskemia miokardium atau edema paru dapat menyertai absorpsi vascular dari alfa-agonis ketika digunakan sebagai injeksi vasokonstriktor pada daerah pembedahan.
Hipertensi sistemik terjadi karena stimulasi alfa-agonis yang meningkatkan sistemik vascular resisten. Peningkatan SVR ini menyebabkan perpindahan darah dari perifer ke vascular pulmonary sehingga meningkatkan tekanan pengisian ventrikel kiri. Kemampuan jantung untuk meningkatkan heart rate dan kontraktilitas merupakan mekanisme kompensasi untuk tetap menjaga cardiac output pada keadaan ini.

Penatalaksanaan

Tanpa intervensi farmakologi
Dalam literatur dikatakan kejadian manifestasi sistemik dari aktivasi simpatetik nervous system ini tidak memerlukan terapi khusus. Tindakan hanya terbatas pada menunggu durasi epinefrin yang diinjeksi secara lokal tadi hilang. Hipertensi sistemik dapat hilang dengan sendirinya tanpa intervensi farmakologi. Akan tetapi severe hypertension perlu intervensi farmakologi asalkan terapi yang diberikan tidak menyebabkan penurunan dari kemampuan miokardium yang sudah terdepresi untuk meningkatkan kontraktilitas dan heart rate. Pada kondisi ini, obat-obatan golongan vasodilator seperti nitroprusid atau nitrogliserin merupakan pilihan.


Beta-adrenergik bloker
Pemberian obat-obatan beta-adrenergik bloker pada kondisi ini tidak diperkenankan karena dapat menyebabkan kejadian edema pulmonary dan irreversible cardiovascular collapse. Hal ini berhubungan dengan mengganggu mekanisme kompensasi miokardium untuk memelihara cardiac output tadi.

Lidokain
Lidokain yang merupakan obat anestesi lokal juga dipergunakan sebagai terapi emergensi pada resusitasi kardiopulmonal. Lidokain diberikan pada kejadian manifestasi sistemik dari aktivasi simpatetik nervous system karena injeksi lokal epinefrin terutama karena kejadian disritmia (ventricular takikardia). Beberapa jurnal mengatakan pemberian lidokain pada situasi ini efektif untuk mengembalikan irama jantung menjadi sinus rythme. Membiarkan jantung dalam keadaan disrtimia berbanding lurus dengan perburukan outcame pasien yang mengarah pada keadaan heart failure. Lidokain diberikan secara bolus intravena dengan dosis 1-1,5 mg/kgbb.
Menurut pedoman ACLS dari AHA 2006, lidokain diberikan untuk terapi alternative dari amiodaron untuk VF/VT pada cardiac arrest. Diindikasikan juga pada stable monomorfik VT, stable polimorfik VT pada keadaan tanpa iskemik dan gangguan elektrolit sebelumnya. Pemberian juga dapat melalui ETT dengan dosis 2-4 mg/kgbb. Untuk maintenance diberikan dengan infuse 1-4 mg/min (30-50 µg/kg per menit).
Efek lidokain ini disebabkan kerja lidokain yang mendepresi automatisiti miokardial. Kontraktilitas dan conduction velocity juga terdepresi. Dihasilkan dari direct cardiac muscle membrane changes (blokade sodium channel jantung) dan inhibisi dari autonomic nervous system. 

Cardioversion
Sesuai pedoman ACLS dari AHA 2006, kardioversi diindikasikan pada semua bentuk takikardia (HR>150X/menit) dengan tanda-tanda hemodinamik yang tidak stabil, syok, tapi masih terdapat nadi. Tapi disebutkan juga bahwa kardioversi merupakan kontraindikasi pada keadaan takikardia diatas yang disebabkan oleh keracunan atau drug induced. Pada kasus ini tidak dilakukan kardioversi karena jelas penyebabnya adalah drug induced (infiltrasi lokal epinefrin). Namun persiapan alat defibrillator penting sebagai antisipasi kejadian memburuk sampai dilakukan CPR.
Kesimpulan
1.    Penggunaan infiltrasi lokal epinefrin pada area pembedahan menguntungkan karena berfungsi sebagai profilaksis hemostasis sehingga mengurangi perdarahan sekaligus juga meningkatkan visibility operator bedah, akan tetapi perlu diwaspadai bahaya yang dapat ditimbulkannya seperti bencana sirkulasi dalam bentuk hipertensi sistemik, takikardia, disritmia, iskemik miokardia atau edema paru
2.    Manifestasi sistemik aktivasi dari simpatik nervous system perlu diketahui dan dipahami dengan demikian tindakan yang cepat dan tepat pada penatalaksanaannya dapat dilakukan sehingga tidak menjadi lebih parah hingga bersifat fatal dan tercapainya outcome pasien yang lebih baik.
3.    Konsentrasi tinggi epinefrin juga dapat menyebabkan efek yang bersifat fatal maka perlu lebih hati-hati dan teliti dalam melakukan pengenceran sehingga benar-benar didapat konsentrasi yang tepat dan sesuai.

Daftar Bacaan
1.         Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th ed, Lippincot William & Wilkins; 2006: 292-310.
2.         Morgan GE, Mikhail MS., Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th ed, Pasadena: McGraw-hill companies; 2006.
3.         Field JM, Hazinski MF, Gilmore D. Handbook of Emergency Cardiovascular Care for Health Care Provider. American Heart Association; 2006.
4.         Murakawa T, Koh H, Tsubo T, Matsuki A, et al. Two Cases of Circulatory Failure After Local Infiltration of Epinephrine during Tonsillectomy. The Japanese Journal of Anesthesiology 1998;47(8):955-62.
5.         Takayuki M. Circulatory Disaster Following Infiltration of Epinephrine Contained in Local Anesthetic. The Japanese Journal of Anesthesiology 1999;48(9):1020-23.
6.         Lee JY, Kim CH, Lee SJ, et al. Acute Heart Failure Induced by a beta-blocker after the Local Infiltration of Epinephrine: A case report. Korean J Anesthesiol 2007;52(5):591-95.
7.         Karns JL. Epinephrine-induced Potentially lethal Arrhythmia during Arthroscopic Shoulder Surgery: A case report. AANA J 1999;67(5):419-21.
8.         Rutka JA, McKinlay K, et al. Risk of Tragic Error Continues in Operating Rooms. ISMP Canada Safety Bulletin 2004;4(12).


Selasa, 12 April 2011

REKAM MEDIS ELEKTRONIK


REKAM MEDIS ELEKTRONIK
DALAM SISTEM INFORMASI RUMAH SAKIT

Dr. Yendi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam era seperti saat ini, begitu banyak sektor kehidupan yang tidak terlepas dari peran serta dan penggunaan teknologi komputer. Semakin hari, kemajuan teknologi komputer, baik dibidang piranti lunak maupun perangkat keras berkembang dengan sangat pesat, disisi lain juga berkembang kearah yang sangat mudah dari segi pengaplikasian dan murah dalam biaya. Solusi untuk bidang kerja apapun akan ada cara untuk dapat dilakukan melalui media komputer, dengan catatan bahwa pengguna juga harus terus belajar untuk mengiringi kemajuan teknologinya. Sehingga pada akhirnya, solusi apapun teknologi yang kita pakai, sangatlah ditentukan oleh sumber daya manusia yang menggunakannya.
Rumah sakit, sebagai salah satu institusi pelayanan kesehatan masyarakat akan memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien dalam kesehariannya. Pemberian layanan dan tindakan dalam banyak hal akan mempengarui kondisi dan rasa nyaman bagi pasien. Semakin cepat akan semakin baik karena menyangkut nyawa pasien. Semakin besar jasa layanan suatu rumah sakit, akan semakin kompleks pula jenis tindakan dan layanan yang harus diberikan yang kesemuanya harus tetap dalam satu koordinasi terpadu. Karena selain memberikan layanan, rumah sakit juga harus mengelola dana untuk membiayai operasional serta menjalankan proses manajemen dalam melaksanakan aktifitasnya. Melihat situasi tersebut, sudah tepat jika rumah sakit menggunakan sisi kemajuan komputer, baik piranti lunak maupun perangkat kerasnya dalam upaya membantu penanganan manajemen yang sebelumnya dilakukan secara manual.
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) adalah suatu tatanan yang berurusan dengan pengumpulan data, pengelolaan data, penyajian informasi, analisis dan penyimpulan informasi serta penyampaian informasi yang dibutuhkan untuk kegiatan rumah sakit. Perkembangan Sistem Informasi Rumah Sakit yang berbasis komputer (Komputer Based Hospital Information System) di Indonesia telah dimulai pada akhir dekade 80’an. Salah satu rumah sakit yang pada waktu itu telah memanfaatkan komputer untuk mendukung operasionalnya adalah Rumah Sakit Husada. Departemen Kesehatan dengan proyek bantuan dari luar negeri, juga berusaha mengembangkan Sistem Informasi Rumah Sakit pada beberapa rumah sakit pemerintah dengan dibantu oleh tenaga ahli dari UGM.
Sebuah sistem informasi rumah sakit idealnya mencakup integrasi fungsi-fungsi klinikal (medis), keuangan, serta manajemen yang nantinya merupakan subsistem dari sebuah sistem informasi rumah sakit. Subsistem ini merupakan unsur dari sistem informasi rumah sakit yang tugasnya menyiapkan informasi berdasarkan fungsi-fungsi yang ada untuk menyederhanakan pelayanan pada suatu rumah sakit. 
Rekam medis merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dalam rumah sakit. Rekam medis juga adalah salah satu subsistem dari sistem informasi rumah sakit. Peranan rekam medis sangat penting dan melekat erat dengan kegiatan pelayanan kedokteran maupun pelayanan kesehatan. Sistem pencatatan rekam medis bisa secara manual ataupun elektronik (digital). Dalam melakukan kegiatan dan pengelolaan rekam medis terdapat beberapa aspek hukum yang harus diperhatikan, baik itu rekam medis dilakukan secara manual apalagi dilakukan secara elektronik, agar terjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi semua komponen yang terlibat dalam pelayanan kedokteran ataupun pelayanan kesehatan di rumah sakit.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana analisis sistem informasi rumah sakit (SIRS) elektronik ditinjau dari segi rekam medis?”

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengantar
Organisasi rumah sakit merupakan suatu sistem pelayanan yang memiliki multi fungsi professional untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan. Antara lain karena fungsionalisasi dan spesialisasi yang banyak ragamnya, selain itu rumah sakit merupakan organisasi pelayanan politik yang sangat komplek dan unik. Rumah sakit adalah organisasi yang bersifat padat karya, padat modal, padat ilmu dan padat teknologi serta padat permasalahan.
Rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan umum membutuhkan keberadaan suatu sistem informasi yang akurat dan andal, serta cukup memadai untuk meningkatkan pelayanannya kepada para pasien serta lingkungan yang terkait lainnya. Dengan lingkup pelayanan yang begitu luas, tentunya banyak sekali permasalahan kompleks yang terjadi dalam proses pelayanan di rumah sakit. Banyaknya variabel di rumah sakit turut menentukan kecepatan arus informasi yang dibutuhkan oleh pengguna dan lingkungan rumah sakit.
Salah satu cara dalam mewujudkan kepuasaan pelanggan adalah menjaga mutu pelayanan secara terus menerus yang dapat dipantau dan didasarkan pada catatan rekam medis disuatu rumah sakit yaitu dengan cara dalam menjaga kerapihan, keakuratan, dan ketertiban administrasi suatu rumah sakit.
Pengelolaan data di rumah sakit merupakan salah satu komponen yang penting dalam mewujudkan suatu sistem informasi di rumah sakit. Pengelolaan data secara manual, mempunyai banyak kelemahan, selain membutuhkan waktu yang lama, keakuratannya juga kurang dapat diterima, karena kemungkinan kesalahan sangat besar. Dengan dukungan teknologi informasi yang ada sekarang ini, pekerjaan pengelolaan data dengan cara manual dapat digantikan dengan suatu sistem informasi dengan menggunakan komputer. Selain lebih cepat dan mudah, pengelolaan data juga menjadi lebih akurat.

2.2  Sistem Informasi Rumah Sakit
Sistem informasi adalah sekumpulan komponen pembentuk sistem yang mempunyai keterkaitan antara satu komponen dengan komponen yang lainnya yang bertujuan menghasilkan suatu informasi dalam suatu bidang tertentu.

Dalam sistem informasi diperlukan klasifikasi alur informasi karena keanekaragaman kebutuhan akan suatu informasi oleh pengguna informasi. Kriteria suatu sistem informasi yaitu fleksibel, efektif, dan efisien.
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) adalah suatu tatanan yang berurusan dengan pengumpulan data, pengelolaan data, penyajian informasi, analisis dan penyimpulan informasi serta penyampaian informasi yang dibutuhkan untuk kegiatan rumah sakit. Sebuah sistem informasi rumah sakit idealnya mencakup integrasi fungsi-fungsi klinikal (medis), keuangan, serta manajemen yang nantinya merupakan subsistem dari sebuah sistem informasi rumah sakit. Subsistem ini merupakan unsur dari sistem informasi rumah sakit yang tugasnya menyiapkan informasi berdasarkan fungsi-fungsi yang ada untuk menyederhanakan pelayanan pada suatu rumah sakit.  

Gambar 2. Sistem Informasi Rumah Sakit
Pengembangan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) yang berbasis komputer (Komputer Based Hospital Information System) akan berhasil dengan baik apabila memperhatikan konsep-konsep dasar pengembangan sistem informasi. Ada 8 konsep dasar yang mendasari proses pengembangan sistem informasi, yaitu (1) Sistem informasi tidak identik dengan sistem komputerisasi, (2) Sistem informasi organisasi adalah suatu sistem yang dinamis, (3) Sistem informasi sebagai suatu sistem harus mengikuti siklus hidup sistem, (4) Daya guna sistem informasi sangat ditentukan oleh tingkat intregritas sistem informasi itu sendiri, (5) Keberhasilan pengembangan sistem informasi sangat bergantung pada strategi yang dipilih untuk pengembangan sistem tersebut, (6) Pengembangan Sistem Informasi organisasi harus menggunakan pendekatan fungsi dan dilakukan secara menyeluruh (holistik), (7) Informasi telah menjadi aset organisasi dan (8) Penjabaran sistem sampai ke aplikasi menggunakan struktur hirarkis yang mudah dipahami.
Pada dasarnya rancang bangun/desain SIRS, secara global (rancangan global) adalah identik antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya dan yang membedakannya adalah dalam rancangan rinci. Secara global SIRS dibagi menjadi 6 subsistem, yaitu:
1. Subsistem Layanan Kesehatan, yang dijabarkan lagi menjadi 3 modul, yaitu:
(a) Modul Rawat Jalan,
(b) Modul Rawat Inap dan
(c) Modul Penunjang Medis

2.Subsistem Rekam Medis,
3 Subsistem Personalia,
4.Subsistem Keuangan,
5.Subsistem Sarana/Prasarana dan
6.Subsistem Manajemen Rumah Sakit
Proses perancangan sistem informasi rumah sakit kadangkala menjadikan kendala apabila tidak didukung oleh master plan yang baik. Berikut 5 tahap pengembangan yang dapat dijadikan pegangan dalam merancang sistem informasi rumah sakit.
1. Investigasi Awal
Kegiatan yang dilakukan:
        Merumuskan masalah dan ruang lingkup proyek pengembangan SIRS
        Mengidentifikasi masalah yang dapat diatasi dengan SIRS
        Menilai kelayakan proyek, yang meliputi biaya dan manfaat yang didapat
        Perlu diingat: bahwa tujuan pengembangan sistem ini adalah menekan sekecil mungkin dampak dari masalah, jadi  tidak semua masalah mesti teratasi.
2. Analisis Kebutuhan
Pada tahap ini diusahakan banyak melibatkan pengguna (user), untuk mengantisipasi dampak yang muncul pada tahap selanjutnya.
Kegiatan yang dilakukan:
        Pengumpulan dan analisis data
        Menilai kekuatan dan kelemahan metode kerja saat ini
        Mengidentifikasi kebutuhan pengguna
        Analisis kebutuhan sistem, biasanya menggunakan alat bantu “data flow diagram, flowcart atau Structured analysis & design technique”.
        Rekomendasi dan Dokumentasi, dengan disertai penjadwalan , biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang  diperoleh.
Sumber informasi dapat diperoleh dari pedoman kerja yang sudah ada, kuesioner, wawancara ataupun observasi lapangan.
3. Perancangan sistem
Proses ini merupakan tahap yang cukup rumit. Perancang sistem maupun programmer dituntut untuk kerja ekstra dan hati-hati. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam tahap ini:
        Input: isi form, volume, ketepatan waktu, media dan format
        Spesifikasi Proses: apakah rumah sakit akan menggunakan perangkat aplikasi yang ada dipasaran atau dengan pengembangan oleh RS sendiri ( Tailor made)
        Output : Isi, ketepatan waktu, media, format, volume.
        Spesifikasi penyimpanan: Penetapan cara akses dalam pengorganisasian data volume penyimpanan dan media penyimpanan yang sesuai.
        Spesifikasi tenaga: Diperlukan deskripsi kerja yang jelas, kualifikasi tenaga yang sesuai dan pelatihan/training.
Dalam pengembangan program aplikasi juga diperlukan beberapa tahapan dimulai dari kebutuhan sistem, kebutuhan program, penulisan kode, koreksi kesalahan, pengujian program sampai fase pemeliharaan. Perlu dipertimbangkan juga pada tahap ini adalah pengendalian keamanan data dengan maksud untuk mengurangi resiko penyalahgunaan data dan pengrusakan.
4. Akuisisi Sistem
Yang perlu diperhatikan dalam menilai perawatan hardware dan software meliputi fungsi sistem, kemudahan dipelajari/digunakan, kecepatan, kapasitas, biaya, dukungan pasca jual dan dokumentasi. Jika diperlukan dapat dilakukan pengujian dengan data kegiatan operasional di lapangan untuk mengetahui kinerja ( Benchmark Test ).
Beberapa cara konversi sistem lama ke sistem baru sebelum implementasi suatu sistem adalah:
1.    Konversi langsung, program lama diganti langsung dengan program baru.
2.    Konversi Paralel, program baru dan lama dijalankan bersama dalam jangka waktu tertentu sesuai kebutuhan.
3.    Konversi Bertahap, pelaksanaan sistem baru secara bertahap bagian per bagian.
4.    Konversi dengan Pilot Study, hampir sama dengan konversi bertahap, hanya dengan proyek percontohan dulu.
5. Implementasi dan Pemeliharaan sistem
Pada tahap ini dilakukan penjadwalan mulai dari proses implementasi, operasionalisasi sampai dengan pemeliharaan sistem. Pada fase post implementasi seharusnya perancang sistem melakukan evaluasi tindak lanjut yang bertujuan untuk segera memperbaiki kekurangan-kekurangan yang masih ada dan umpan balik yang diperlukan.

2.3  Rekam Medik
Menurut Permenkes No. 269/2008 tentang rekam medis yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Permenkes tersebut dikeluarkan untuk menunjang dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang mengatur mengenai rekam medis sehingga dapat terwujud keseragaman dalam pelaksanaan rekam medis di Indonesia.
Pertimbangan yang melatarbelakangi perlunya dibuat rekam medis ialah untuk mendokumentasikan semua kejadian yang berkaitan dengan kesehatan pasien serta menyediakan media komunikasi dan informasi diantara tenaga kesehatan bagi kepentingan perawatan penyakit pasien yang sekarang maupun yang akan datang.
Sebenarnya rekam medis mempunyai pengertian yang sangat luas tidak hanya sekedar kegiatan pencatatan, akan tetapi mempunyai pengertian sebagai satu sistem penyelenggaraan rekam medis. Kegiatan pencatatan sendiri hanya salah satu kegiatan dari penyelenggaraan rekam medis. Rekam medis merupakan proses kegiatan yang dimulai pada saat diterimanya pasien di rumah sakit, dilanjutkan dengan pencatatan data medis pasien selama pasien tersebut mendapat pelayanan medis di rumah sakit dan diteruskan dengan penanganan berkas rekam medis yang meliputi penyelenggaraan penyimpanan serta pengeluaran berkas dari tempat penyimpanan untuk melayani permintaan/peminjaman sesuai persetujuan pasien atau untuk keperluan lainnya.
Rekam medis sebagai rekaman atau catatan yang mencerminkan setiap langkah upaya kesehatan yang dilakukan  oleh pengemban profesi medis dalam rangka pelayanan kedokteran maupun pelayanan kesehatan menggambarkan juga kerapihan, kecepatan, dan ketepatan dalam menerapkan hak dan kewajiban profesional yang sudah dilafalkan sebagai sumpah jabatan dokter (KODEKI). Karena itu rekam medis mencerminkan derajat, mutu, dan kualitas pelayanan kesehatan oleh setiap pelaksana profesi kesehatan.
Landasan hukum penyelenggaraan Rekam Medis adalah:
1.                  UU no 29 / 2004 tentang praktek kedokteran
2.                  UU no 36 / 2009 tentang Kesehatan
3.                  UU no 44 / 2009 tentang Rumah Sakit
4.                  Kepmenkes no 1333 / 1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit
5.                  PP no 32 / 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
6.                  Kepmenkes no 034 / 1972 tentang Perencanaan dan Pemeliharaan Rumah Sakit
7.                  Permenkes no 269 / 2008 Tentang Rekam Medis.
8.                  Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik no 78 tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Rekam Medik.Surat keputusan ini menjelaskan rincian penyelenggaraan rekam medis di rumah sakit.
9.                  Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Medik no HK.00.06.1.5.01160 tentang petunjuk teknis pengadaan formulis rekam medis dasar dan pemusnahan arsip rekam medis.
Tujuan rekam medis adalah menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya. Tanpa didukung suatu sistem pengelolaan rekam medis yang baik dan benar, tertib administrasi tidak akan tercapai seperti yang diharapkan. Sedangkan tertib administrasi merupakan salah satu factor yang menentukan di dalam upaya pelayanan kesehatan.
Rekam medis berguna bagi berbagai pihak untuk bermacam kepentingan, antara lain:
1.      Health care provider (primary users)
Sebagai media komunikasi dan informasi antara tenaga kesehatan, referensi perawatan penyakit, media pembelajaran dalam proses pendidikan, evaluasi kualitas pelayanan kesehatan, analisa efektifitas dan efisiensi pemanfaatan fasilitas, kepentingan akreditasi, dokumentasi sesuai peraturan yang berlaku, serta untuk penilaian effektifitas pengobatan.
2.      Payers for services (secondary users)
Sebagai bahan untuk pengajuan klaim asuransi, audit bagi perusahaan asuransi terhadap pelayanan medis serta jasa profesional, memantau kualitas dan ekuitas pelayanan medis yang diasuransikan, serta untuk menilai dan mengontrol biaya pelayanan medis.
3.      Social users
Public health agencies: survey epidemologi
Medisal and social researches: menyelidiki pola penyakit, pengaruh penyakit terhadap berbagai aspek kehidupan.
Rehabilitation and social welfare program: penentuan jenis program rehabilitasi melalui pengkajian data.
Employers: administrasi rencana asuransi, menentukan jenis pekerjaan, analisa pekerjaan dengan kesehatan.
Insurance company: menentukan risiko dan liabilitas calon klien.
Government agencies: menyusun rencana kebutuhan sekolah, fasilitas kesehatan.
Institusi pendidikan: menilai kecocokan memasuki program pendidikan, menyusun program perawatan kesehatan siswa dan pegawai.
Judicial process: bukti di pengadilan dalam pennyelesaian kasus, bukti untuk menentukan kelainan mental.
Accrediting, licensing, and certifying agencies: bukti pemenuhan criteria untuk memperoleh professional licencing, kompetisi bagi praktisi, menentukan kesesuaian criteria bagi rumah sakit bagi program pendidikan, standar akreditasi institusi.
Media: melaporkan perkembangan riset kedokteran, bahaya kesehatan, penyakit yang mengancam kesehatan masyarakat serta kejadian yang patut mendapat perhatian.
Menurut Surat Keputusan Dirjen Yanmed No. 78 tahun 1991 tentang penyelenggaraan rekam medis manfaat penyelengaraan rekam medis antara lain:
·      Sumber informasi medis
·      Alat komunikasi
·      Bukti tertulis (documentary evidence)
·      Analisa dan evaluasi kualitas pelayanan
·      Melindungi kepentingan hukum
·      Penelitian dan pendidikan
·      Perencanaan dan pemanfaatan sumber daya
·      Keperluan lain yang ada kaitannya dengan rekam medis

2.4  Rekam Medik Elektronik
Kemajuan teknologi informasi dimanfaatkan oleh manajemen rumah sakit untuk pengembangan sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) yang terintegrasi. Tujuan utama SIMRS adalah efisiensi dan kecepatan pelayanan serta untuk pengambilan keputusan direksi, baik menyangkut keputusan terhadap masalah logistik, administrasi dan keuangan. Kemajuan ini telah melahirkan paradigma baru dalam manajemen informasi kesehatan termasuk didalamnya manajemen rekam medis elektronik (digital) yang telah merubah pola pikir dan pola tindak para praktisi profesi rekam medis, para ahli manajemen informasi kesehatan, para praktisi hukum dan para arsiparis (profesi kearsipan).
Perubahan tersebut juga telah diikuti dengan penyesuaian dalam peraturan perundang-undangan, dimana Permenkes No. 749a tahun 1989 tentang rekam medis belum menyinggung mengenai rekam medis elektronik sedangkan Permenkes tentang rekam medis yang baru yaitu Permenkes No. 269 tahun 2008 telah terdapat aturan rekam medis elektronik. Dengan demikian Permenkes No. 269 tahun 2008 tentang rekam medis ini menjadi dasar hukum penerapan rekam medis elektronik di Indonesia.
Rekam medis elektronik adalah setiap catatan, pernyataan, maupun interpretasi yang dibuat oleh dokter atau petugas kesehatan lain dalam rangka diagnosis dan penanganan pasien yang dimasukkan dan disimpan dalam bentuk penyimpanan elektronik (digital) melalui sistem komputer. “Electronic Medisal Record (EMR): an electronic sistem automate paper-base medisal record
“Rekam Medis Elektronik (RME) adalah suatu sistem rekam medis yang menggunakan elektronik berdasarkan lembaran kertas/berkas rekam medis.”
Faktor-faktor penghambat adopsi kegiatan rekam medis elektronik adalah:
Pihak manajemen rumah sakit:
·      Ketidaksiapan pengetahuan sumber daya manusia yang mengerti masalah kedokteran sekaligus masalah teknologi komputer dalam rangka penyelenggaraan rekam medis elektronik dan standar terminologi klinik
·      Modal awal yang besar untuk investasi
·      Resistensi para dokter
Pihak klinikus atau dokter:
·      Kurang memahami aplikasi komputer, masalah privacy, confidential, dan keamanan data
·      Butuh waktu yang lama memasukkan data
·      Egoisme profesi
Faktor-faktor pendukung adopsi rekam medis elektronik adalah:
·      Perubahan ekonomi kesehatan dimana terdapat kecenderungan untuk penghematan
·      Peningkatan pengunaan computer dalam populasi umum
·      Perubahan kebijakan pemerintah
·      Peningkatan dukungan terhadap komputerisasi klinik
·      Tuntutan keselamatan pasien
·      Kebutuhan keputusan klinis bagi pemetaan epidemologi dan pola penyakit masyarakat
Rekam medis elektronik atau digital pada dasarnya merupakan perubahan bentuk atau wujud dari berkas kertas menjadi elektronik atau digital dengan pengertian apa yang biasanya kegiatan pencatatan pasien diatas kertas sekarang semuanya sudah terekam dalam sistem komputer.
Rekam Medis Elektronik (RME) merupakan adopsi dari perkembangan teknologi informasi dalam pelayanan kesehatan, ini merupakan suatu inovasi. Nama lain RME : Electronic Medisal Record (EMR). Electronic Health Record (HER). Komputerized Patient Record (CPR).
Jenis data yang dapat disimpan dalam rekam medis elektronik adalah:
·      Teks dalam bentuk kode, narasi, dan laporan
·      Gambar dalam bentuk grafik komputer, hasil scanning, foto rontgen digital
·      Suara, misalnya suara jantung atau suara paru
·      Video, misalnya proses operasi atau tindakan medis lainnya
Komponen Fungsional RME adalah:
1.                  Data pasien terintegrasi
2.                  Dukungan keputusan klinik
3.                  Pemasukan perintah klinikus
4.                  Akses terhadap sumber pengetahuan
5.                  Dukungan komunikasi terpadu
Revolusi Teknologi Informatika Kesehatan telah membuat suatu terobosan dalam rekam medis berbasis butiran informasi dan diolah dengan pendekatan elektronik (RM/K-e) yang merupakan versi evolusi ke 5 dimana evolusi bentuk fisik rekam medis dimulai dari (1) manajemen rekam medis bentuk kertas secara independen dalam lintas pelayanan; (2) scaning dokumen kertas untuk banyak penggunaan;(3) sistem automatis menghasilkan data pasien secara elektronis;(4) mengintegrasi sitem pelayanan pasien lintas wilayah secara elektronis;(5) integrasi jaringan Manajemen Informasi Kesehatan secara elektronis.
Manfaat dari pelaksanaan rekam medis elektronik adalah:
·      Penelusuran dan pengiriman informasi mudah
·      Bisa dikaitkan dengan informasi diluar rumah sakit
·      Penyimpanan lebih ringkas, data dapat ditampilkan dengan epat sesuai kebutuhan
·      Pelaporan lebih mudah dan secara otomatis
·      Kualitas data dan standar dapat dikendalikan
·      Dapat diintegrasikan dengan perangkat lunak pendukung keputusan.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Rekam Medis Elektronik, yaitu:
1.      Sistem Identifikasi Pasien dan Pemberian Nomor Rekam Medis
Identifikasi pasien dilakukan pada setiap kali pasien melakukan pendaftaran pada pertamakali dating dengan melengkapi identitasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, data identifikasi pasien ini berlaku selama pasien melakukan pelayanan kesehatan dan apabila terjadi perubahan seperti alamat atau status pernikahan dapat memberikan konfirmasi ulang kepada petugas pendaftaran pada saat berkunjung kembali.
Dengan menggunakan sistem digital. secara otomatis pasien akan diberikan nomor rekam medis sesuai dengan kunjungannya. Setiap awal mendaftar dan data tersimpan, maka nomor secara otomatis akan diberikan kepada pasien.
2.      Proses Alur Pasien dan Dokumen Pasien
Prosedur ataupun proses alur pasien dan dokumen pasien hampir sama, yang membedakan adalah jika pasien setelah selesai pemeriksaan dan membayar biaya pemeriksaan kemudian pulang, sedangkan dokumen pasien disimpan disarana pelayanan kesehatan.
Secara prosedur, pasien rawat jalan yang mendaftar di pendaftaran dapat langsung mendapatkan nomor antrian dan hanya tinggal menunggu dipanggil oleh perawat sesuai nomor antrian. Jika pasien sudah dipanggil dan berada diruang dokter hanya tinggal membuka file pasien yang sedang diperiksa dengan memanggil nomor rekam medisnya ataupun nama yang sesuai dengan yang tertera dinomor antrian. Segala bentuk pemeriksaan pasien, dari mulai anamnesa dan pemeriksaan fisik, tensi, suhu, nadi, diagnosa serta terapi yang diberikan hanya tinggal klik dan memasukan data sesuai dengan pemeriksaan, apabila tedapat pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan seperti laboratorium ataupun diagnostik imaging, maka dokter yang bersangkutan hanya tinggal memilih menu pemeriksaan penunjang dan memasukan jenis pemeriksaannya, secara otomatis di komputer petugas administrasi penunjang sudah tertera pasien yang akan dilakukan pemeriksaan penunjang dan sudah muncul juga pembiayaan yang harus dibayar oleh pasien yang bersangkutan. Hasil dari pemeriksaan penunjang jika sudah selesai dapat langsung dilihat di komputer dokter yang merujuk pasien tersebut sehingga dokter tersebut sudah dapat mengetahui hasil dari pemeriksaan tersebut.
Apabila rangkaian pemeriksaan tersebut selesai dan pasien sudah membayar dikasir dan petugas kasir menutup kegiatan pada hari itu, maka petugas rekam medis akan mengetahui file-file pasien yang sudah dapat diolah datanya yaitu dengan terdapatnya sinyal di komputer yang khusus mengkategorikan pasien menurut jenisnya yaitu rawat jalan, rawat inap, gawat darurat maupun pemeriksan penunjang.
Tidak ada bedanya dengan pasien rawat inap dan gawat darurat semua diproses dengan komputer dan seluruh peringatan mengenai kegiatan pasien-pasien sudah diatur oleh komputer.
3.      Kebijakan dalam Pelayanan Kegiatan Medis
Kegiatan pelayanan medis yang dilakukan di rumah sakit yang bertanggung jawab terhadap pengisian isi rekam medisnya adalah : Dokter umum, Dokter Spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis, dokter tamu yang merawat pasien, tenaga para medis, dan tenaga non medis non perawat yang langsung terlibat di dalam pengisian rekam medis.
Jika dalam kebijkan manual terdapat beberapa ketentuan yang telah berlaku, maka jika elektronik dilaksanakan maka akan terdapat beberapa kebijakan baru yang disesuaikan dengan prosedur digital seperti:
a.       Setiap tindakan konsultasi yang dilakukan terhadap pasien, harus langsung dimasukan ke dalam file pasien di komputer karena jika ditunda-tunda kemungkinan malah akan terlupakan, Karena tidak seperti manual yang masih bisa diberi toleransi 1x24 jam.
b.      Semua pencatatan yang dibuat oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya harus diberi kode identitas, hal ini sebagai pengganti paraf atau tandatangan yang biasanya dilakukan jika menggunakan sistem rekam medis manual.
c.       Setiap menghapus atau mengganti keterangan harus dilakukan dengan menggunakan PIN yang berkepentingan dan harus sepengetahuan kepala bagian rekam medis, karena ditakutkan akan terjadinya rekayasa.
d.      Untuk penggunaan formulir-formulir rekam medis secara digital diwakili oleh masing-masing jenis kegiatan pasien yaitu kedalam kelompok pasien rawat jalan, rawat inap, dan gawat darurat. Masing-masing sudah diatur sesuai dengan kebutuhannya, sama seperti formulir manual hanya saja bentuknya dalam komputer.
4.      Proses pengolahan Rekam Medis
Setiap kali pasien selesai pemeriksaan, maka berkas rekam medisnya harus dikembalikan kepada rekam medis, tetapi apabila dalam bentuk digital, maka sudah secara otomatis pasien yang sudah selesai pemeriksaan dan ditutup proses kegiatannya dengan melakukan transaksi pelunasan pembayaran, maka akan muncul direkam medis data file pasien yang sudah beres dan siap untuk dilakukan pengelolahan rekam medis yaitu dengan melakukan beberapa kegiatan, seperti kodefikasi, analisa rekam medis dan pelaporan. Terdapat beberapa kegiatan yang tidak dilakukan dalam proses rekam medis elektronik, yaitu Assembling atau menyusun berkas/formulir sesuai dengan urutannya serta penyimpanan file di dalam rak, karena apabila melakukan rekam medis elektronik tidak akan nada kertas yang perlu disusun, dirapikan dan disimpan.

2.5  Aspek Hukum Rekam Medik Elektronik
2.5.1 Dasar Hukum Rekam Medis Elektronik
Rekam medis merupakan kegiatan yang diwajibkan dalam penyelenggaraaan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan kegiatan rekam medis. Dasar hukum pelaksanaan rekam medis elektronik disamping peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai rekam medis, lebih khusus lagi diatur dalam Permenkes No 269 Tahun 2008 tentang  Rekam Medis pasal 2 : (1) Rekam medis harus dibuat secara tertulis lengkap, dan jelas atau secara elektronik, (2) Penyelenggaraan rekam medis dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri.

2.5.2 Kerahasiaan Rekam Medis Elektronik
Sesuai aturan perundang-undangan rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya karena data yang terdapat dalam rekam medis adalah milik pasien, kewajiban ini menjadi tugas dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Pemanfaatan komputer sebagai sarana pembuatan dan pengiriman informasi medis merupakan upaya yang dapat mempercepat dan memperpanjang bergeraknya informasi medis untuk kepentingan ketepatan tindakan medis. Namun disisi lain dapat menimbulkan masalah baru di bidang kerahasiaan dan privacy pasien. Bila data medis pasien jatuh ketangan yang tidak tepat akan menimbulkan masalah hukum dan tanggung jawab harus ditanggung oleh dokternya atau oleh rumah sakitnya. Untuk itu maka standar pelaksanaan pembuatan dan penyimpanan rekam medis yang selama ini berlaku bagi berkas kertas harus pula diberlakukan pada berkas digital/elektronik. Umumnya komputerisasi tidak menjadikan rekam medis paperless tetapi hanya lesspaper. Beberapa data seperti data identitas, informed consent, hasil konsultasi, hasil radiologi dan imaging harus tetap dalam bentuk kertas (print out).
Konsil Asosiasi Dokter sedunia di bidang etik dan hukum menerbitkan ketentuan di bidang ini pada tahun 1994, beberapa petunjuk yang penting adalah :
1.                  Informasi medis hanya dimasukan ke dalam komputer oleh personil yang berwenang.
2.                  Data pasien harus dijaga dengan ketat. Setiap personil tertentu hanya bisa mengakses data tertentu yang sesuai dengan menggunakan security level tertentu.
3.                  Tidak ada informasi yang dapat dibuka tanpa ijin pasien. Distribusi informasi medis harus dibatasi hanya kepada orang-orang yang berwenang saja. Orang-orang tersebut juga tidak diperkenankan memindah tangankan informasi tersebut kepada orang lain.
4.                  Data yang melampaui batas waktu penyimpanan dapat dihapus setelah memberitahukan kepada dokter dan pasiennya ( atau ahli warisnya )
5.                  Terminal yang online hanya dapat digunakan oleh orang yang berwenang.
Rekam medis elektronik harus menerapkan sistem yang mengurangi kemungkinan kebocoran informasi ini. Setiap pemakai harus memiliki PIN dan password atau menggunakan sidik jari atau pola iris mata sebagai pengenal identitasnya. Data medis juga dapat dipilah-pilah dalam arti petugas yang diberikan wewenang hanya dapat mengakses rekam medis sampai batas tertentu. Misalnya petugas registrasi diberikan kewenangan hanya dalam cakupan pendaftaran saja, petugas billing hanya dapat membuka informasi dan memasukan data keuangan saja tanpa diberikan kewenangan lain dan dokter yang memeriksa mempunyai akses hanya untuk memasukan data medis pasien dan jika dokter tidak mengisi sendiri data medis terebut, ia harus tetap memastikan bahwa pengisian rekam medis yang dilakukan oleh petugas khusus tersebut telah benar.
Dapat disimpulkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengamanan rekam medis elektronik yaitu:
·         Siapa saja yang mendapat akses ke sistem rekam medis elektronik
·         Siapa yang diijinkan untuk melakukan instalasi program
·         Siapa yang boleh memperbaiki sistem jika terjadi kerusakan
·         Ketentuan tata cara perubahan data medis jika terjadi kesalahan memasukkan data
·         Password bagi operator (password yang berbeda bagi otentifikasi yang berbeda)
·         Tidak menggunakan komputer bersamaan dengan orang lain
·         Lakukan logout sebelum meninggalkan komputer
·         Penggunaan digital signature/elektronik signature
Kebijakan yang dapat diberlakukan untuk menjaga kerahasiaan data adalah:
1.      Piranti keras yang dapat diakses oleh pasien ( diruang pemeriksaan pasien ) harus senantiasa terkunci.
2.      Layar komputer yang bisa dilihat pasien tidak boleh berisi informasi medis tentang pasien lain.
3.      Pengiriman data pasien melalui e-mail harus mendapat persetujuan manajemen rumah sakit.
4.      Pengiriman data kesehatan pasien melalui internet harus dilakukan dalam bentuk informasi yang bersandi.
Pengaksesan rekam medis harus dibuat sedemikan rupa sehingga orang yang tidak berwenang tidak dapat mengubah atau menghilangkan data medis, misalnya data jenis” ready only” yang dapat diaksesnya. Bahkan orang yang berwenang mengubah atau menambah atau menghilangkan sebagian data, harus dapat terdeteksi “ perubahannya” dan siapa dan kapan perubahan tersebut dilakukan.
Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa dan kapan ada orang yang mengakses sesuatu data tertentu. Disisi lain, sistem harus bisa memberikan peluang pemanfaatan data medis untuk kepentingan auditing dan penelitian. Dalam hal ini perlu diingat bahwa data yang mengandung identitas tidak boleh diakses untuk kepentingan penelitian.

2.5.3 Rekam Medis Elektronik sebagai Alat Bukti
Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama, sehingga bermanfaat dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin, dan etik. Rekam medis dapat dipergunakan di pengadilan sebagai dokumen resmi kegiatan rumah sakit yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran isinya. Salinan rekam medis dapat diberikan atas permintaan pengadilan, dengan bukti tanda terima dari pengadilan bila yang diminta adalah dokumen aslinya. Apabila terdapat keraguan mengenai isi rekam medis maka saksi ahli dapat dihadirkan oleh pengadilan untuk diminta pendapat ahlinya.
Hal ini juga berlaku bagi rekam medis elektronik yang merupakan salah satu bentuk dari kegiatan rekam medis. Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang ITE merupakan dasar hukum yang dapat diterapkan terhadap rekam medis elektronik. Menurut pasal 44 UU ITE alat bukti yang sah selain yang ditentukan peraturan perundang-undangan termasuk juga alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dengan demikian rekam medis elektronik termasuk alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
Karena menjadi alat bukti yang sah maka terdapat berbagai konsekwensi yang perlu diperhatikan berhubungan dengan kegiatan rekam medis elektronik. Masalah keamanan sistem komputerisasi merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam kegiatan rekam medis elektronik. Sistem keamanan rekam medis elektronik meliputi keamanan jaringan yang meliputi perlindungan jaringan komputer dari serangan hacker, pencurian data, virus, dan jenis serangan malware lainnya, serta keamanan pada perangkat komputernya sendiri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam keamanan komputer antara lain:
·      Privacy or confidentiality
Terutama mengenai tindakan untuk menjaga informasi dari pihak-pihak yang tidak memiliki hak untuk mengakses informasi tersebut. Berkaitan juga dengan kerahasiaan rekam medis elektronik seperti yang telah dibahas sebelumnya.
·      Integrity
Berkaitan dengan perubahan informasi. Salah satu usaha menjaga integrity adalah dengan menggunakan digital signature.
·      Authentication
Berhubungan dengan akses terhadap informasi.
·      Availability
Berkaitan dengan aspek yang menekankan pada tersedianya informasi ketika dihubungkan oleh pihak yang terkait.
·      Access Control
Berkaitan dengan aspek yang menekankan pada cara pengaturan akses terhadap informasi
·      Non Repudiation
Berkaitan dengan aspek yang erat kaitannya dengan suatu transaksi atau perubahan informasi. Aspek ini mencegah agar seseorang tidak dapat menyangkal telah melakukan transaksi atau perubahan terhadap suatu transaksi. Teknologi yang digunakan adalah digital signature, certificates, dan kriptografi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1  Kesimpulan
1.    Rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan umum membutuhkan keberadaan suatu Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) yang akurat dan andal, serta cukup memadai untuk meningkatkan pelayanannya kepada para pasien serta lingkungan yang terkait lainnya.
2.    Rekam medis adalah satu bagian dari kegiatan dalam rumah sakit yang merupakan suatu subsistem dari Sistem Informasi rumah sakit
3.    Rekam medis elektronik merupakan salah satu bentuk kegiatan rekam medis yang terbentuk karena perkembangan teknologi komputer untuk tujuan efisiensi, efektif dan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan dan penyelenggaraan kegiatan rumah sakit.
4.    Terdapat bermacam hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan atau rancang bangun suatu rekam medis elektronik yang merupakan bagian dari sistem informasi rumah sakit salah satunya analisa sumber daya manusia yang ada di rumah sakit, serta faktor lainnya yang ikut berperan dalam mempengaruhi pembentukan sistem informasi rumah sakit khususnya rekam medis elektronik.
5.    Aspek hukum rekam medis meliputi landasan hukum kegiatan rekam medis elektronik, kerahasiaan rekam medis elektronik, pelaksanaan proses kegiatan rekam medis dengan memperhatikan aspek hukum yang terkait,serta  rekam medis elektronik sebagai alat bukti.

3.2 Saran
1.    Agar setiap rumah sakit menerapkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) yang akurat dan andal, serta cukup memadai untuk meningkatkan pelayanannya kepada para pasien serta lingkungan yang terkait lainnya.
2.    Agar dalam membuat atau merancang suatu sistem informasi rumah sakit khususnya subsistem rekam medis elektronik memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan tersebut, seperti analisis sumber daya manusia yang ada di rumah sakit, serta komponen lain yang ikut terlibat.
3.    Agar dalam pelaksanaan kegiatan rekam medis elektronik memperhatikan aspek hukum rekam medis elekronik seperti kerahasiaan rekam medis elektronik, serta kegunaan rekam medis elektronik sebagai alat bukti sehingga dilakukan usaha-usaha untuk memelihara dan menjaga rekam medis elektronik, baik secara sistem maupun fisik komputerisasinya.





DAFTAR PUSTAKA

Sabarguna BS. System informasi manajemen rumah sakit. Konsorsium rumah sakit islam. cetakan ke-2, Yogyakarta, 2004.
Depkes RI. Pedoman pengelolaan rekam medis rumah sakit RI. Revisi ke-1, Jakarta, 1997.
Siarif TJ. Diktat kuliah rekam medis elektronik pada program studi magister hokum kesehatan UNIKA Soegijapranata Semarang. Bandung, 2010.
Echols JM, Shadily H. Kamus Inggris-Indonesia. Cetakan ke-20. Gramedia, Jakarta, 2003.
Yonathan H. Perbedaan rekam medis manual dan rekam medis elektronik. [Tesis]. Bandung: UNIKA Soegijapranata Semarang,  2007.
Karjono. Kontroversi aspek hokum rekam medis. Suara Badar, 2005.
Dahlan S. Hukum kesehatan rambu-rambu bagi profesi dokter. Edisi ke-3. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang, 2005.