Selasa, 15 Februari 2011

Ambulatory Anesthesia

KONTROVERSI TERKINI DALAM ANESTESI BEDAH RAWAT JALAN DEWASA
CURRENT CONTROVERSIES IN ADULT OUTPATIENT ANESTHESIA

dr. Yendi

Abstrak
          Kemajuan terkini yang dicapai dalam bidang anestesi dan teknik pembedahan menyebabkan teknik bedah rawat jalan berkembang pesat, termasuk teknik bedah rawat jalan pada pasien dewasa. Pada tahun 1994, sekitar 66% operasi elektif di Amerika Serikat dilakukan dengan bedah rawat jalan. Saat ini, Sekitar 70% pembedahan di Amerika Serikat telah dilakukan dengan bedah rawat jalan. Anestesi bedah rawat jalan dirancang untuk memenuhi kebutuhan bedah rawat jalan sehingga pasien dapat cepat pulih dan pulang setelah pembedahan rawat jalan.
    Tujuan  utama bedah rawat jalan adalah terlaksananya prosedur pembedahan yang aman akan tetapi lebih efektif dan lebih ekonomis dibanding teknik bedah konvensional yang akan memberikan keuntungan terhadap pasien, rumah sakit serta pihak yang membayar (asuransi). Pengelolaan anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan akan menghasilkan kondisi pembedahan yang terbaik, pemulihan yang cepat, tidak ada komplikasi pascabedah, dan tercapai kepuasan pasien yang setinggi-tingginya.
    Kontroversi terkini dalam bedah rawat jalan mencakup keseluruhan aspek bedah rawat jalan pada pasien dewasa termasuk pemilihan pasien, evaluasi dan persiapan prabedah, pemeriksaan labaratorium sebagai skrining, pemilihan teknik anestesi, konsep fast-track, pemulihan dan pemulangan pasien pascabedah, penanganan komplikasi pasca bedah (nyeri dan mual muntah) serta penatalaksanaan pasien setelah keluar dari rumah sakit.
Kata kunci: bedah rawat jalan, kontroversi terkin

Pendahuluan
    Teknik bedah rawat jalan dilakukan secara terpisah pertama kali tahun 1970 di Amerika Serikat. Dengan berkembangnya bidang anestesi dan pembedahan maka bedah rawat jalan juga mengalami kemajuan yang pesat, termasuk bedah rawat jalan pasien dewasa. Jumlah operasi yang dilakukan dengan teknik bedah rawat jalan juga terus meningkat. Pada tahun 1994, sekitar 66% operasi elektif di Amerika Serikat dilakukan dengan bedah rawat jalan. Saat ini, Sekitar 70% pembedahan di Amerika Serikat telah dilakukan dengan bedah rawat jalan.
   Tujuan utama bedah rawat jalan adalah terlaksananya prosedur pembedahan yang lebih efektif dan lebih ekonomis sehingga memberi keuntungan terhadap pasien, rumah sakit serta pihak yang membayar (third party payrs). Faktor utama pemilihan teknik bedah rawat jalan adalah penekanan biaya tetapi tetap mempertahankan kualitas pengobatan, sehingga morbiditas akibat prosedur pembedahan ataupun karena penyakit sebelumnya tidak lebih besar dibandingkan dengan pasien rawat inap.
    Keuntungan bagi pasien dengan teknik bedah rawat jalan ini adalah mengurangi biaya, mengurangi waktu rawat sehingga waktu berpisah dengan keluarga dan lingkungan menjadi lebih singkat, mengurangi waktu tunggu untuk pembedahan, mengurangi resiko infeksi nosokomial rumah sakit, tidak bergantung pada jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit sehingga pasien lebih fleksibel dalam memilih jadwal operasi. Dibandingkan dengan pasien rawat inap, pemeriksaan laboratorium berkurang serta mengurangi kebutuhan obat pascabedah.

Hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan anestesi (Value-based anesthesia care)
    Meningkatnya keinginan untuk mewujudkan peningkatan outcome pasien, efektifitas biaya, dan pembatasan sumberdaya memaksa ahli anestesi untuk terus melakukan penilaian dan evaluasi terhadap cost-to-benefit ratio pada setiap proses dalam tindakan anestesi. Menurut Orkin, para konsumen layanan kesehatan mencari pelayanan yang berdasarkan nilai, dimana outcome pasien yang terbaik dapat dicapai dengan biaya yang rasional. Evaluasi yang objektif pada setiap proses dalam anestesi (evaluasi prabedah, skrining laboratorium, pemilihan teknik dan agen anestesi, efek pada outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah, dan pengaruh secara keseluruhan terhadap pelayanan kesehatan) harus selalu dilakukan secara terintegrasi bila penyedia jasa kesehatan tetap ingin mempertahankan nilai ekonomis dalam pelayanannya.

Pemilihan pasien
    Keputusan untuk menentukan apakah pasien layak untuk menjalani bedah rawat jalan harus berdasarkan penilaian individual masing-masing pasien, yang ditentukan oleh kombinasi dari beberapa faktor termasuk patient consideration, prosedur pembedahan, teknik anestesi, dan tingkat kemampuan dan kenyamanan ahli anestesi.
    Lamanya operasi bukan suatu kriteria untuk bedah rawat jalan, sebab hanya ada sedikit hubungan antara lamanya anestesi dengan cepatnya pemulihan. Penyelesaiannya adalah operasi yang lama harus diacarakan untuk operasi yang paling pagi.
    Penekanan pada pertimbangan biaya dalam pembedahan menyebabkan peralihan dari bedah rawat inap menjadi bedah rawat jalan meningkat tajam. Hal ini juga berdampak pada perubahan dalam kriteria seleksi pasien bedah rawat jalan dan dimasukkannya pasien dengan kondisi medis yang kompleks, dimana pada masa lalu dinyatakan tidak fit untuk bedah rawat jalan. Isu mengenai seleksi pasien makin membesar karena hanya sedikit data dan penelitian mengenai kriteria dalam seleksi pasien ini. Pada awal diperkenalkannya bedah rawat jalan hanya pasien dengan status ASA I dan ASA II yang dipilih untuk prosedur bedah rawat jalan. Saat ini, pasien yang digolongkan pada status ASA III dan ASA IV juga merupakan calon operasi bedah rawat jalan asalkan penyakit sistemiknya dalam keadaan stabil.
    Penelitian yang dilakukan Friedman tahun 2004 untuk menilai metode pemilihan pasien pada bedah rawat jalan terkini serta mengidentifikasi kriteria pemilihan pasien untuk bedah rawat jalan menunjukkan bahwa tingkat keparahan kondisi medis masih berhubungan dengan opini ahli anestesi untuk menerima atau menolak prosedur bedah rawat jalan. Dalam penelitian tersebut tidak ditentukan jenis operasi khusus yang akan dilakukan.
    Pada kasus dimana terdapat gangguan jantung bedah rawat jalan dapat dilakukan pada pasien dengan angina pectoris class II, CHF class I dan infark miokard yang lebih dari 6 bulan, dengan catatan dalam keadaan gejala ringan atau terkontrol. Begitu juga dengan kelainan katup yang asimtomatis, dapat dilakukan bedah rawat jalan. IDDM dan Morbidly Obesity (MO) tanpa penyakit sistemik bukan kontraindikasi untuk bedah rawat jalan. Dalam survey ini juga didapatkan fakta bahwa sebagian besar ahli anestesi setuju untuk melakukan bedah rawat jalan pada kasus suspek Malignant Hyperthermia.
    Kasus yang ditolak oleh ahli anestesi untuk bedah rawat jalan dalam survey tersebut termasuk Angina Pektoris class IV, CHF class IV dan severe MO dengan co-morbidities. Pasien dengan Miokard Infark dalam 1-6 bulan sebelum operasi, CHF class III, MO dengan BMI 35-44 kg per meter persegi dengan penyakit sistemik tidak termasuk kriteria pasien bedah rawat jalan. Sleep apneu dengan anestesi regional serta sleep apneu dengan anestesi umum tanpa pemberian narkotik pascabedah dapat diterima sebagai calon bedah rawat jalan, kecuali sleep apneu dengan anestesi regional dan anestesi umum yang disertai dengan pemberian narkotik pascabedah. Pasien yang tidak ditemani orang dewasa yang mendampingi tidak disetujui untuk bedah rawat jalan.
    University of Chicago Hospitals telah memisahkan beberapa kelompok pasien yang tidak dapat dijadikan calon untuk bedah rawat jalan:
"    Pasien dengan status fisik ASA III dan ASA IV yang unstable. Pasien dengan kondisi ini diskrining pada saat evaluasi prabedah oleh ahli anestesi, kemudian dirujuk kepada konsultan medis terkait dan bersama dengan penatalaksanaan oleh ahli bedah, setelah itu baru direncanakan untuk operasi setelah kondisinya stabil.
"    Malignant Hyperpyrexia. Termasuk pasien dengan riwayat malignant hyperpyrexia ataupun suspek malignant hyperpyrexia. Tetapi sebagian rumah sakit tetap melakukan bedah rawat jalan pada kondisi ini.
"    Terapi Monoamine Oxidase Inhibitors (MAO). Karena instabilitas hemodinamik yang berhubungan dengan tatalaksana anestesi pada pasien yang sedang dalam terapi MAO, obat tersebut dihentikan minimal 2 minggu sebelum operasi.
"    Obesitas Morbid kompleks / Sleep Apneu kompleks. Walaupun pasien dengan riwayat sleep apneu atau dengan morbidly obese tanpa penyakit sistemik merupakan calon bedah rawat jalan, rawat inap dan observasi pascabedah dilakukan pada pasien morbidly obese dengan disertai gangguan jantung, paru-paru, hepar, atau ginjal serta pasien dengan riwayat sleep apneu kompleks.
"    Ketagihan obat-obatan akut. Karena peningkatan respon kardiovaskular ketika agen anestetik diberikan pada seseorang yang ketergantungan obat-obatan.
"    Kesulitan psikososial. Pasien yang menolak untuk dilakukan operasi dengan teknik bedah rawat jalan tidak dapat dipaksa. Pasien yang telah menjalani pembedahan rawat jalan harus dalam pengawasan orang dewasa yang bertanggung jawab terhadapnya.

Evaluasi prabedah
    Setiap fasilitas bedah rawat jalan harus mengembangkan metode skrining prabedah sebelum hari operasi. Dalam bedah rawat jalan ahli anestesi adalah orang yang terlibat langsung pada perawatan dan tatalaksana pasien, meyakinkan pasien diskrining dan dievaluasi secara tepat. Juga harus mengingatkan pasien tentang jadwal datang ke rumah sakit, restriksi makanan (puasa), pakaian yang harus dipakai, transportasi ke rumah sakit, maupun kebutuhan perawatan anggota keluarga lain yang ditinggalkan serta harus ada orang dewasa yang mengantar pulang ke rumah dari rumah sakit setelah selesai operasi.
    Disamping untuk mengurangi rasa cemas pasien, evaluasi prabedah yang dilakukan ahli anestesi juga bertujuan untuk mengidentifikasi potensi masalah medis, mencari etiologinya, dan bila perlu melakukan koreksi yang tepat. Dengan demikian dapat mengurangi pembatalan serta komplikasi bedah rawat jalan.
    Saat ini terdapat berbagai cara untuk melakukan evaluasi dan skrining pasien bedah rawat jalan, seperti:
1.    Pasien datang ke fasilitas bedah rawat jalan sebelum hari operasi.
2.    Pasien datang ke kantor ahli anestesi sebelum hari operasi
3.    Wawancara melalui telepon
4.    Meneliti hasil pemeriksaan medis/data medis pasien
5.    Visite dan pemeriksaan prabedah pada pagi hari sebelum pembedahan
6.    Pengumpulan informasi pasien dengan bantuan komputer (computer assisted information gathering)
    Pasien yang diskrining secara adekuat serta dengan persiapan prabedah yang baik akan lebih efisien dalam biaya pada bedah rawat jalan.

Computer Assisted Information Gathering
    Saat ini telah banyak tersedia tools dan media komputer yang bermanfaat untuk evaluasi prabedah yang sangat membantu ahli anestesi dalam melakukan evaluasi prabedah.
    HealthQuiz Plus 2 adalah sebuah program komputer yang simpel dengan koneksi internet atau telepon untuk evaluasi prabedah. Program ini dikembangkan oleh Michael F. Roizen, MD di University of Chicago. Program ini hanya terdiri 4 pilihan (yes, no, not sure, dan next question). Pertanyaan-pertanyaan dalam program HelathQuiz Plus 2 ditampilkan dalam format yang sederhana dan mudah dimengerti. Pasien diberikan sebuah nomor rahasia (PIN) yang hanya diketahui oleh dokter dan pasien bersangkutan. Data yang telah disimpan hanya dapat diakses oleh dokter yang telah memiliki PIN khusus, dan dapat ditransfer langsung ke komputer utama, di fax atau email ke komputer bagian penjadwalan kamar operasi atau ke ahli bedah. Dengan demikian kebutuhan kertas untuk menyimpan data tidak lagi dibutuhkan. Dan jika dokter telah menggunakan sistem komputerisasi dalam penyimpanan data maka kebutuhan sekretaris untuk menginput data dapat ditiadakan.
    Sistem ini dapat dihubungkan dengan printer. Untuk keperluan tertentu dokter dapat mencetak data yang penting seperti alergi terhadap bahan tertentu, kesulitan atau permasalahan pada tindakan anestesi sebelumnya, gejala-gejala pasien, serta saran untuk pemeriksaan laboratorium prabedah. Rekomendasi untuk pemeriksaan prabedah tersedia setelah semua pertanyaan dalam HealthQuiz Plus 2 dijawab oleh pasien.1
    Keuntungan lain adalah pasien dapat menerima sistem ini, pasien lebih antusias berpartisipasi dalam menilai kesehatannya, dan hasil dapat dicetak serta dipegang oleh pasien bersangkutan sebagai bahan informasi bagi mereka. Program HealthQuiz Plus 2 dapat diakses melalui internet dengan sistem small pay per use, atau melalui jaringan telepon, atau dengan lisensi pada fasilitas rumah sakit.
    Evaluasi prabedah pada Thomas Jefferson University Hospital di Philadelphia saat ini juga telah dilakukan dengan sistem komputer. Sistem yang dikembangkan disini bernama JeffSprint. Dalam sistem ini bebas dipilih cara drop-down list, check boxes, dan mouse-click. Pemakaian teknologi ini telah meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya rumah sakit, sehingga lebih banyak pasien yang bisa dikelola tiap harinya.
    Walter Maurer dan Raymond Borkowski dari Cleveland Clinic telah merintis penggunaan HealthQuest System pada Cleveland Clinic dan beberapa fasilitas jaringannya. Sistem skrining dan evaluasi prabedah ini dapat digunakan diberbagai tempat, termasuk rumah sakit, pusat bedah rawat jalan, dan juga kantor ahli bedah. Implementasi serta penerimaan yang luas dari sistem ini telah meningkatkan efisiensi evaluasi prabedah serta kepuasan pasien secara dramatis. Selama periode 3 tahun hampir sebagian pasien tidak perlu mengunjungi klinik sebelum tindakan pembedahan. Prosedur yang tidak perlu dalam evaluasi dan skrining prabedah juga dapat dihilangkan. Hal ini dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan pasien.

Persiapan pasien
    Persiapan pasien yang matang dalam bedah rawat jalan perlu dilakukan agar tercapai kondisi yang optimal bagi pasien yang akan menjalani operasi. Restriksi makanan dan minuman sebelum operasi bedah rawat jalan:
1.    Untuk menurunkan risiko pneumonitis dan obstruksi jalan napas akibat aspirasi isi lambung, pasien secara rutin diminta tidak makan makanan padat 6-8 jam sebelum operasi. Atau puasa setelah tengah malam (bila operasi dilakukan pagi hari) yang harus disampaikan secara lisan dan tertulis.
2.    Kebutuhan untuk melarang minum cairan pada periode prabedah (sampai 2 jam sebelum induksi anestesi) masih dievaluasi, karena:
a.    Minum cairan jernih tidak meningkatkan volume cairan lambung pada saat induksi anestesi.
b.    Aman minum air sampai 150 ml pada saat minum obat.
c.    Salah satu keuntungan mengizinkan minum kopi pada peminum kopi adalah menurunnya kejadian sakit kepala setelah operasi.

Pemberian obat-obatan yang biasa dipakai pasien sebelum operasi:
"    Obat-obat anti hipertensi tetap diminum sampai hari operasi. Obat-obat untuk merubah perasaan seperti fluoxetin, trisiklik anti depresan, mono-amine oxidase inhibitor, dan lithium dapat terus diberikan tetapi harus diwaspadai untuk kemungkinan terjadinya interaksi obat-obatan. Pemberian aspirin dapat terus dilakukan terutama bila resiko perdarahan pada operasi minimal. Pada operasi besar/risiko perdarahan besar aspirin dihentikan mulai 7 hari prabedah.
"    Pemeriksaan EKG perlu dilakukan pada pasien umur lebih dari 40 tahun atau bila ada indikasi.
"    Bila pada pemeriksaan ditemukan masalah medis, sebaiknya operasi ditangguhkan dan pasien dievaluasi kembali.

Persiapan pada hari operasi
    Pasien harus diperiksa ulang oleh ahli anestesi karena bisa terjadi perubahan-perubahan yang mendadak misalnya infeksi saluran napas bagian atas atau apakah pasien melaksanakan semua instruksi untuk puasa, adanya teman yang mengantar dan menerangkan prosedur anestesi serta penandatanganan surat izin operasi. Kanula intravena dipasang untuk pemberian obat anestesi nantinya serta pemberian cairan bila diperlukan.
    Premedikasi pasien bedah rawat jalan tidak jauh berbeda dengan pasien yang dirawat sehingga tetap diberikan obat-obat premedikasi untuk anti cemas, nyeri pascabedah, mual muntah serta untuk menurunkan risiko pneumonitis bila terjadi aspirasi isi lambung selama pembedahan. Kebanyakan obat premedikasi tidak memperlambat pemulihan bila diberikan dalam dosis yang tepat. Benzodiazepin adalah obat yang paling sering digunakan untuk menurunkan kecemasan dan memberikan sedasi untuk pasien bedah rawat jalan. Adanya amnesia setelah premedikasi dengan benzodiazepin harus diperhatikan walaupun tidak ada penelitian yang melaporkan adanya amnesia retrograd.
    Opioid mungkin digunakan prabedah untuk menimbulkan efek sedasi, mengendalikan hipertensi selama intubasi, dan untuk menurunkan nyeri setelah operasi. Keefektifan opioid dalam menghilangkan kecemasan masih kontroversi. Masalah yang dihubungkan dengan penggunaan opioid adalah hipoventilasi, gatal-gatal, mual dan muntah, yang sangat tidak diinginkan pada pasien bedah rawat jalan. Propofol kadang-kadang digunakan untuk sedasi sebelum induksi anestesi dengan dosis 0,7 mg/kgbb intravena.
    Kehilangan cairan akibat puasa 6-8 jam tidak menjadi masalah, sehingga tidak perlu dilakukan koreksi cairan yang hilang akibat puasa. Pemasangan kateter intravena hanya untuk pemberian obat-obatan saja. Kebutuhan untuk pemberian cairan operasi pasien bedah rawat jalan masih kontrovesial. Untuk operasi yang sangat singkat seperti miringotomi mungkin tidak diperlukan pemberian cairan dengan pengecualian bila puasanya lama atau tidak mampu minum segera setelah operasi selesai dan bangun penuh.
    Pasien yang akan menjalani bedah rawat jalan mungkin mempunyai risiko aspirasi isi lambung, walaupun risiko ini tidak lebih besar daripada pasien yang dirawat. Bisa dipertimbangkan pemberian obat-obat profilaksis untuk pasien-pasien tertentu misalnya dengan hiatus hernia, obesitas, atau parturien. Obat-obat profilaksis untuk mencegah aspirasi adalah:
"    H2 receptor antagonist: cimetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin
"    Substitusi benzimidazol: omeprazol
"    Antasida non partikel: sodium sitrat
"    Obat-obat gastrokinetik: metoclopramid

Pemeriksaan laboratorium sebagai skrining
    Kepercayaan yang salah sebelumnya mengenai pemeriksaan laboratorium untuk skrining prabedah adalah "shotgun labs" merupakan yang terbaik untuk pasien dan dokter. Namun saat ini program bedah rawat jalan secara kontinyu memperbaiki substansi pemeriksaan laboratorium untuk skrining pasien. Kebanyakan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan tidak memberikan kontribusi yang menguntungkan terhadap tatalaksana perioperatif pasien. Walaupun pemeriksaan laboratorium dapat membantu optimalisasi kondisi prabedah pasien ketika suatu penyakit terdeteksi, tetapi terdapat beberapa hal yang yang merupakan kekurangannya, yaitu:
1    Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut sering kali tidak bisa mengungkap kondisi patologi penyakit
2    Nilai abnormal yang kadang terungkap tidak penting dalam memperbaiki pengelolaan serta outcome pasien.
3    Tidak efisien untuk skrining suatu penyakit yang tidak terdeteksi pada anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan baik dan tepat.
4    Nilai abnormal yang didapatkan melalui pemeriksaan laboratorium sering tidak di follow up dengan tepat
5    Nilai false positif pemeriksaan laboratorium akan meningkatkan kecemasan pasien, meningkatkan penundaan operasi serta biaya, dilakukannya pemeriksaan-pemeriksaan serta terapi yang lebih invasiv yang bersifat traumatik pada pasien.
    Blue Cross/Blue Shield memperkirakan sekitar 30 triliun dolar telah dikeluarkan untuk pemeriksaan prabedah di Amerika Serikat tahun 1984, mereka yakin sekitar 12-18 triliun dolar tiap tahun dapat disimpan bila hanya pemeriksaan prabedah yang tepat yang dilakukan.
    Banyak fasilitas saat ini membatasi pemeriksaan-pemeriksaan prabedah berdasarkan tindakan operasi dan usia pasien, terdapatnya penyakit penyerta, serta riwayat pengobatan. Roizen menyarankan untuk dilakukan seminimal mungkin pemeriksaan laboratorium skrining prabedah pada pasien sehat, tetapi pada pasien dengan baseline disease yang signifikan (hipertensi, CAD, diabetes) memerlukan pemeriksaan lanjutan (EKG, elektrolit, rontgen torak). Pertimbangan usia tidak mengharuskan dilakukan pemeriksaan tambahan lanjutan. Hasil penelitian Schein dan kawan-kawan pada pasien geriatri yang akan dilakukan operasi katarak dengan lokal anestesi dan sedasi tidak didapatkan perbedaan yang signifikan terhadap safety pembedahan antara kelompok yang dilakukan pemeriksaan prabedah rutin geriatri (EKG, elektrolit, BUN, kreatinin, glukosa) dan kelompok yang tidak dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut.
    Sampai saat ini, Illinois Ambulatory Surgical Treatment Act menyarankan pemeriksaan standar hemoglobin atau hematokrit dan urinalisis pada semua pasien yang akan dilakukan bedah rawat jalan.

Pemilihan teknik anestesi
    Pemilihan suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien, prosedur pembedahan serta keinginan dan permintaan pasien, bila memungkinkan. Dalam bedah rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang dapat dipilih:
1    Anestesi umum
2    Anestesi regional, dengan atau tanpa sedasi
3    Monitored Anestesi Care (MAC), anestesi lokal yang disertai dengan sedasi, ahli anestesi memonitor tanda vital serta fungsi tubuh pasien
4    Anestesi lokal, mungkin tidak disertai oleh ahli anestesi dalam tim pembedahan
    Ahli anestesi akan mendiskusikan resiko dan keuntungan masing-masing teknik dengan pasien, dan berdasarkan informasi yang dikumpulkan ahli anestesi pada waktu skrining dan evaluasi prabedah pilihan anestesi yang terbaik akan didiskusikan dengan pasien. Teknik anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan harus memenuhi kriteria:
1.    Menciptakan kondisi pembedahan yang prima
2.    Pemulihan yang cepat (rapid recovery)
3.    Tidak ada efek samping pascabedah
4.    Kepuasan pasien
    Disamping itu, teknik anestesi yang dipakai harus mengambil peran dalam peningkatan kualitas serta penurunan biaya, meningkatkan efisiensi penggunaan kamar operasi, serta pemulangan pasien yang lebih cepat tanpa efek samping.
Belakangan, penggunaan Monitored Anesthesia Care (MAC) lebih dipilih oleh banyak ahli anestesi sebagai alternatif dari anestesi umum dan anestesi regional pada bedah rawat jalan.
    Dikenalkannya obat-obat anestesi yang lebih rapid dan shorter-acting seperti volatile anestesi (desfluran dan sevofluran), analgetik opioid (remifentanil) dan pelemas otot (rapacuronium) memberi peluang bagi ahli anestesi untuk lebih konsisten mencapai kondisi pemulihan yang lebih ideal setelah tindakan anestesi umum.
    Induksi anestesi sering dilakukan dengan propofol. Propofol menjadi drug of choice pada anestesi bedah rawat jalan. Setelah bolus saat induksi konsentrasi propofol menurun secara cepat dalam plasma. Propofol juga memiliki klirens metabolik yang cepat, sekitar 10x lebih cepat dibanding thiopental. Rasa sakit akibat suntikan dapat dikurangi dengan pemakaian vena besar atau didahului maupun dicampur pemberiannya dengan lidokain. Propofol juga sering dipakai untuk maintenance anestesi. Pemakaian propofol sebagai maintenance mengurangi insidensi PONV bila dibandingkan dengan maintenance anestesi dengan inhalasi. Etomidat juga sering dipakai pada induksi bedah rawat jalan dengan dosis 0,3 mg/kgbb. Masalah nyeri akibat etomidat sekarang dapat dikurangi dengan mengganti pelarut etomidat dengan trigliserida rantai sedang, sedangkan masalah mioklonus dapat diatasi dengan pemberian fentanil, sufentanil sebelum induksi anestesi.
    Sevofluran dengan sifat tidak iritatif terhadap saluran napas dan solubility yang rendah dapat digunakan sebagai induksi inhalasi yang cepat dan aman. Insidensi kejadian komplikasi respirasi sangat rendah sedangkan kualitas induksinya sama baik bahkan lebih dibandingkan halotan.
    Sevofluran dan desfluran merupakan 2 obat anestesi inhalasi yang baru diperkenalkan dan sangat berguna pada anestesi bedah rawat jalan. Kedua obat ini dieliminasi dengan cepat dan menghasilkan recovery yang cepat dari anestesi. Kedalaman anestesi dengan kedua obat ini lebih terkendali. Kekurangannya, obat ini lebih mahal dibanding obat anestesi inhalasi lainnya. Tidak seperti sevofluran, desfluran tidak dapat dipergunakan untuk induksi inhalasi karena bersifat iritatif terhadap saluran napas.
    Pemberian pelemas otot yang bersifat intermediate atau short acting non-depolarizing lebih disukai daripada suksinil kolin karena kemungkinan adanya mialgia, malignant hipertermi, dan hiperkalemia. Walau demikian, suksinil kolin memberikan onset yang paling cepat dan terutama digunakan bila ada risiko aspirasi isi lambung. Reversal pelemas otot non-depolarisasi harus diberikan bila ada keraguan bahwa masih ada efek relaksasi otot. Tetapi harus diingat bahwa pemberian prostigmin dapat meningkatkan kejadian muntah.
    Opioid yang sering digunakan adalah fentanil untuk tambahan analgesi selama anestesi. Bila tersedia lebih baik remifentanil karena memiliki lama kerja yang lebih singkat dibanding fentanil dan tidak memiliki efek kumulatif.
    Walaupun pertimbangan pada anestesi bedah rawat jalan harus dicapai rapid recovery dan cost effectiveness menyebabkan penggunaan obat anestesi dibatasi, kejadian awareness dan recall pada bedah rawat jalan dengan anestesi umum tidak meningkat dibanding bedah rawat inap, dengan dosis dan tatalaksana anestesi yang sama.
    Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa anestesi regional lebih aman daripada anestesi umum. Anestesi regional yang biasa dipakai untuk bedah rawat jalan adalah spinal anestesi, epidural anestesi, caudal anestesi, blok saraf tepi, regional anestesi intravena dan infiltrasi.
    Faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pemindahan pasien (discharge) dengan anestesi spinal sebelumnya adalah pemulihan dari residual blokade motorik, efek simpatolitik dari blok subarakhnoid, berperan dalam delayed ambulation serta void inability. Efek samping ini dapat diminimalisasi dengan pemakaian teknik spinal anestesi mini-dose lidocaine fentanyl, lidokain dosis lebih kecil (15-30 mg) atau bupivakain (3-6 mg) dikombinasi dengan opioid (fentanil 12,5-25 µg atau sufentanil 5-10 µg) menghasilkan efek pemulihan motorik dan bladder function lebih cepat dibanding dosis konvensional anestesi lokal tunggal. Teknik ini mampu meningkatkan cost-effectiveness pada bedah rawat jalan. Tetapi, efek samping seperti pruritus dan nausea akan meningkat dengan penggunaan fentanil walaupun dalam dosis kecil pada blok subarakhnoid. Permasalahan lain dari spinal anestesi termasuk back pain, PDPH, dan transient radicular irritation karena lidokain.
    Kombinasi antara low cost dan kepuasan pasien yang menggambarkan kualitas terbaik dari prosedur anestesi mungkin dapat dicapai dengan teknik Monitored Anesthesia Care (MAC) dengan syarat anestesi pada prosedur pembedahan tersebut dapat dicapai dengan teknik ini (seperti bedah superficial dan prosedur endoskopi). Perkembangan dalam teknik sedasi dan analgesi untuk melengkapi anestesi lokal infiltrasi telah meningkatkan penggunaan teknik MAC dalam pembedahan. Kepuasan pasien dengan teknik MAC juga berhubungan dengan efektifitas terhadap pengendalian nyeri dan tidak adanya efek samping pascabedah yang umum terjadi pada teknik anestesi spinal atau anestesi umum. Keberhasilan teknik MAC bukan hanya tergantung dari ahli anestesi tetapi juga kemampuan ahli bedah dalam melakukan infiltrasi lokal yang efektif serta gentle handling terhadap jaringan tubuh selama introperatif. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa teknik MAC lebih cost-effective daripada anestesi spinal atau anestesi umum.

Konsep Fast-track anesthesia
    Konsep fast-track dalam pembedahan pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1990. Dengan konsep ini maka pasien dapat pulang lebih cepat dari rumah sakit dan melakukan aktifitas normalnya setelah menjalani operasi. Prinsip utama pada fast-track anesthesia adalah pasien tidak melewati PACU (fase I recovery), pasien langsung dipindahkan dari kamar operasi menuju ruang pemulihan fase 2 (fase II recovery). Fast-track anesthesia tumbuh karena kebutuhan untuk pengendalian biaya kesehatan, tetapi keuntungan paradigma ini lebih besar daripada hanya pengurangan biaya perawatan, termasuk juga outcome dan kepuasan pasien. Meningkatnya penggunaan teknik bedah minimally invasive, perkembangan obat-obat baru termasuk yang mula kerjanya cepat, durasi kerja lebih cepat, obat-obatan analgesik dan pelemas otot merupakan bagian dalam perkembangan fast-track anesthesia.
    Keuntungan fast-track anesthesia:
"    Pemulihan cepat
"    Mengurangi lama tinggal di rumah sakit
"    Mengurangi kebutuhan monitoring dan lembar observasi
"    Mengizinkan pasien kembali dengan cepat ke lingkungan yang lebih menyenangkan
"    Mengurangi biaya perawatan di ruang pemulihan
    Kerugian fast-track anesthesia:
"    Kehilangan pendapatan rumah sakit
"    Meningkatnya risiko komplikasi pascabedah
"    Diperlukan training perawat
"    Meningkatnya kerja perawat di ruang pemulihan fase 2
"    Memerlukan pemulihan yang tepat dari anestesi.2
    Sebuah kriteria untuk menentukan apakah pasien layak untuk fast-track anesthesia telah dibuat, karena penggunaan Modified Aldrete Score yang biasa digunakan sebagai kriteria discharge pasien dari PACU tidak adekuat digunakan pada pasien bedah rawat jalan terutama dengan anestesi umum karena tidak mencakup komplikasi yang biasa terjadi di PACU (seperti: nyeri, mual, dan muntah). Didalam sistem skoring tersebut pasien yang layak untuk fast-track adalah pasien dengan nilai dari semua kriteria >12 dan tidak ada nilai 0. Fast-track scoring system baru ini memiliki kelebihan dibanding modified Aldrete's scoring system dalam penilaian kelayakan pasien bedah rawat jalan untuk bypassing PACU setelah menjalani bedah rawat jalan dengan anestesi umum.

Tabel 1. Fast Track Criteria yang diusulkan untuk menentukan pasien dapat ditransfer langsung dari kamar bedah ke ruang pemulihan fase II.
Kesadaran    Nilai
   Sadar penuh    2
   Respon terhadap rangsang minimal    1
   Respon hanya bila dirangsang fisik    0
Aktifitas fisik  
   Mampu menggerakan semua anggota gerak sesuai perintah    2
   Ada kelemahan pada bagian anggota gerak    1
   Tidak mampu menggerakkan semua anggota gerak    0
Stabilitas hemodinamik  
   Tekanan darah, ± 15% dari nilai MAP awal    2
   Tekanan darah, 15%-30% dari nilai MAP awal    1
   Tekanan darah, > 30% dari nilai MAP awal    0
Stabilitas respirasi  
   Mampu bernafas dalam    2
   Takipneu tapi mampu batuk    1
   Dispneu dan tidak mampu batuk    0
Saturasi oksigen  
   Saturasi > 90% dengan udara bebas    2
   Saturasi > 90% dengan bantuan oksigen via nasal canul    1
   Saturasi < 90% dengan oksigen tambahan    0
Nyeri pascabedah  
   Tidak ada atau minimal    2
   Nyeri sedang sampai berat dengan tambahan analgetik IV    1
   Nyeri berat yang menetap    0
Muntah pascabedah  
  Tidak ada atau mual minimal tanpa muntah    2
   Muntah kadang-kadang    1
   Muntah sering dengan derajat sedang sampai berat    0
Nilai total    14
  
    Penggunaan teknik anestesi yang berhubungan dengan rapid recovery akan menghasilkan lebih sedikit pasien yang tetap tersedasi dalam pada fase awal pascabedah, mengurangi resiko obstruksi jalan napas dan gangguan kardiorespiratori, dan menurunkan intervensi perawat. Dengan menurunnya intervensi dari perawat pada fase awal pascabedah ini maka tenaga perawat dapat dikurangi pada ruang pemulihan, sehingga penghematan biaya dapat dilakukan.
    Penggunaan analgetik non opioid (anestesi lokal, ketamin, NSAID, COX-2 inhibitor, asetaminofen) serta anti emetik (droperidol, metoclopramid, 5-HT3 antagonist, dexametason) secara preemptif akan mengurangi efek samping pascabedah dan mempercepat kedua fase pemulihan setelah bedah rawat jalan.
    Ahli anestesi memiliki peran penting dalam konsep fast-track dengan pendekatan  perioperative medical care. Peranan ahli anestesi tersebut yaitu melalui tindakan dalam pemilihan pengobatan prabedah, obat dan teknik anestesi, penggunaan obat profilaksis untuk meminimalisasi efek samping, serta pemberian obat-obatan untuk memelihara fungsi organ selama dan setelah operasi. Keputusan ahli anestesi sebagai seorang pengelola perioperatif sangat penting bagi tim pembedahan untuk mencapai kesuksesan program fast-track dalam pembedahan.

Pemulihan (Recovery)
    Pemulihan adalah suatu proses yang secara tradisional dibagi atas 3 bagian yang saling tumpang tindih yaitu early recovery, intermediate recovery, dan late recovery. Early recovery dimulai dari dihentikannya obat anestesi supaya pasien bangun, kembalinya refleks proteksi jalan napas, dan dimulainya aktifitas motorik. Intermediate recovery bila sudah mencapai kriteria untuk dapat dipulangkan ke rumah. Late recovery mulai dari dipulangkan sampai pulihnya fungsi fisiologis ke keadaan seperti sebelum pembedahan.
    . Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktifitas motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse oksimetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu modifikasi skoring aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO2 pada modifikasi sistem skoring Aldrete.

Table 2. Modified Aldrete Scoring System
Aktifitas: mampu menggerakkan ekstremitas  
    4 ekstremitas    2
    2 ekstremitias    1
    0 ekstremitias    0
Respirasi  
    Mampu nafas dalam dan batuk    2
    Dispneu atau nafas terbats    1
    Apneu    0
Sirkulasi   
    BP 6 ± 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi    2
    BP 6 ± 20-50 mmHg dari nilai sebelum anestesi    1
    BP 6 ± 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi    0
Kesadaran   
    Sadar penuh    2
    Respon bila dipanggil    1
    Tidak ada respon    0
Saturasi oksigen  
    Saturasi oksigen > 92% dengan udara bebas    2
    Saturasi oksigen > 90% dengan bantuan oksigen tambahan    1
    Saturasi oksigen < 90% walaupun dengan oksigen tambahan    0
  
    Tersediannya obat-obatan anestesi yang lebih cepat onset serta lebih pendek durasinya (seperti propofol, sevofluran, desfluran, dan remifentanil) membuka jalan untuk pemulihan yang lebih cepat setelah anestesi umum, penggunaan analgetik preemtif non opioid (seperti anestesi lokal, ketamin, NSAID, COX-2 inhibitors, ibuprofen, dan parasetamol) serta antiemetik (seperti droperidol, metoklopramid, 5-HT3 antagonist, dan deksametason) akan mengurangi efek samping pascabedah serta akan mempercepat pemulihan pada early dan late recovery pada bedah rawat jalan.
    Kemajuan teknik bedah rawat jalan telah melahirkan suatu konsep baru yaitu fast-track yang menyebabkan pasien tidak harus melewati PACU untuk menjalani fase I recovery. Dengan teknik fast-track pasien dari kamar bedah langsung di pindahkan ke ruang pemulihan fase II tanpa melalui PACU, sehingga biaya di PACU tidak ada, yang berarti akan menekan biaya sehingga akan menguntungkan pasien. Kriteria yang dipakai untuk fast-track ini berbeda dengan modifikasi sistem Aldrete (tabel 1). Sistem skoring ini mempertimbangkan faktor nyeri dan muntah, suatu efek samping yang sering terjadi di PACU.

Pemulangan (Discharge)
    Program bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan pasien yang tepat waktu setelah anestesi. Beberapa kriteria yang telah dibuat untuk menentukan kesiapan pasien untuk dipulangkan seperti Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory Surgery dan PADSS (Post Anesthesia Disharge Scoring System). PADSS merupakan suatu sistem skoring yang secara objektif menilai kondisi pasien untuk dipulangkan. Modifikasi PADSS dibuat karena dalam kriteria PADSS terdapat ketentuan mampu minum pascabedah, dimana ketentuan minum pascabedah tidak lagi dimasukkan kedalam protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu.  Modifikasi PADSS berdasarkan 5 kriteria, yaitu:
1.    Tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, temperature)
2.    Ambulasi
3.    Mual/muntah
4.    Nyeri
5.    Perdarahan akibat pembedahan
Bila skor mencapai >/= 9, pasien cukup aman untuk dipulangkan ke rumah.

Tabel 3. Modified PADSS
1.   Tanda vital
      2 = sekitar 20% dari nilai prabedah
      1 = 20 - 40% dari nilai prabedah
      0 = 40% dari nilai prabedah
2.   Pergerakan
      2 = mampu berdiri/tidak ada pusing
      1 = dengan bantuan
      0 = tidak ada pergerakan/pusing
3.   Mual/muntah
      2 = minimal
      1 = sedang
      0 = berat
4.   Nyeri
      2 = minimal
      1 = sedang
      0 = berat
5.   Perdarahan
      2 = minimal
      1 = sedang
      0 = berat
Total nilai 10. Bila nilai >/= 9 pasien dinyatakan bisa dipulangkan

    Tuntutan bahwa pasien harus kencing/voiding memperlambat pemulangan pasien. Pasien bedah rawat jalan yang tidak berisiko terhadap retensi urin aman untuk dipulangkan sebelum mereka mampu untuk kencing. Faktor resiko terjadinya retensi urin pascabedah termasuk:
"    Riwayat retensi urin pascabedah
"    Anestesi spinal/epidural
"    Pembedahan pelvis/urologi
"    Kateterisasi perioperatif
    Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat manipulasi bedah, pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, efek sisa dari anestesi spinal atau epidural.
    Menunggu pasien untuk bisa minum tanpa terjadi muntah juga memperlambat pemulangan pasien. Penelitian mengenai masalah ini membuktikan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kejadian PONV pada pasien yang telah memiliki toleransi untuk minum dengan yang tidak sebelum pasien dipulangkan.

Pemulangan pasien setelah anestesi regional
    Sejumlah teknik anestesi regional dapat dipakai untuk bedah rawat jalan, mulai dari anestesi spinal sampai ke blok ekstremitas. Pasien yang dilakukan anestesi regional mempunyai kriteria pemulangan yang sama dengan pasien yang di anestesi umum.
    Anestesi regional memiliki keuntungan dan masalah pada bedah rawat jalan. Pemulangan pasien dengan regional anestesi lebih cepat daripada anestesi umum. Kejadian PONV, dizziness, dan nyeri yang biasa terjadi pada anestesi umum lebih rendah pada anestesi regional.
    Anestesi spinal merupakan teknik yang simpel dan reliable dipergunakan secara luas saat ini. Karena short-acting lidokain sering dipakai pada bedah rawat jalan untuk anestesi spinal. Masalahnya lidokain yang dipakai untuk spinal anestesi dapat menyebabkan kejadian TRI (Transient Radicular Irritation). Namun masalah ini dapat dikurangi dengan metode spinal mini-dose, yaitu mencampur lidokain dosis kecil dengan opioid (contohnya lidokain 15-30 mg dengan fentanil 12,5-25 µg). Kejadian PDPH (Post Dural Punctre Headache) akibat spinal juga menjadi masalah pada bedah rawat jalan. Penggunaan jarum spinal yang lebih kecil (no. 29) dan jenis pencil point akan mengurangi kejadian tersebut.
    Sebelum pemulangan pasien bedah rawat jalan dengan anestesi spinal harus yakin bahwa blok sensorik, motorik, dan simpatik telah mengalami regresi. Kriteria yang dapat dipakai untuk menilai hal tersebut termasuk: sensasi normal perianal (S4-5), fleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari kaki.

Faktor yang memperlambat pemulangan pasien
    Beberapa faktor dapat menjadi penyebab lambatnya waktu pemulangan pasien. Meningkatnya umur dihubungkan dengan lambatnya pemulihan, suatu perbedaan umur 10 tahun dihubungkan dengan 2% perubahan lama tinggal. Operasi THT, strabismus, congestive heart failure merupakan prediktor prabedah yang penting untuk lambatnya pemulangan.
    Sebuah studi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemulangan pasien dewasa pada bedah rawat jalan adalah:
"    Perawat pada ruang pemulihan fase II, merupakan faktor paling penting dalam menentukan waktu pemulangan setelah bedah rawat jalan dengan anestesi umum. Pelatihan perawat yang adekuat, standarisasi tugas perawat, umpan balik yang positif, insentif untuk meningkatkan efisiensi, akan membawa pengaruh besar dalam menurunkan waktu pemulangan pasien.
"    Orang dewasa pendamping pasien
"    Pengaruh anestesi termasuk pengelolaan nyeri, mual dan muntah serta drowsiness. Pemilihan teknik dan obat-obatan anestesi juga mempunyai pengaruh besar dalam menurunkan waktu pemulangan yang disesuaikan dengan jenis operasi dan jenis kelamin pasien.

Penanganan komplikasi pascabedah
Pengelolaan nyeri
    Penanganan yang tidak adekuat terhadap komplikasi pascabedah seperti nyeri dan PONV akan memperlambat waktu pemulangan pasien pada bedah rawat jalan. Kemajuan dalam pengendalian nyeri pascabedah akan mempercepat normalisasi kualitas dan fungsi kehidupan yang biasanya didapatkan setelah berminggu-minggu setelah operasi elektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkatan nyeri pada bedah rawat jalan antara lain jenis pembedahan dan anestesi, analgetik yang diberikan saat anestesi, faktor demografi pasien, riwayat analgetik (toleransi analgetik), serta respon emosional dan fisiologi terhadap nyeri itu sendiri. Pengelolaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya saat prabedah untuk menjamin pemulihan yang bebas nyeri.
    Penggunaan analgetik opioid pada perioperatif berhubungan dengan kejadian toleransi opioid akut dan hiperalgesia, hipoventilasi, sedasi, mual dan muntah, retensi urin, dan ileus yang akan memperlambat waktu kepulangan pasien dari rumah sakit serta menambah biaya pengobatan.
    Analgesi multimodal yang dikembangkan sekarang ini melibatkan penggunaan lebih dari satu macam penanganan nyeri guna mendapatkan efek sinergis analgetik dalam upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid. Teknik multimodal analgesi ini terbukti mampu meningkatkan pemulihan serta outcome pasien setelah bedah rawat jalan dan telah menjadi standar dalam pelaksanaan prosedur fast-track.
    Mengingat banyaknya  efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid sebagai analgetik maka ketertarikan terhadap penggunaan NSAID yang poten (seperti diklofenak, ketorolak) menjadi meningkat, yang terbukti efektif menurunkan kebutuhan obat analgetik oral opioid-containing pada bedah rawat jalan. Obat analgetik non steroid oral yang lebih murah (seperti ibuprofen, naproxen) dapat diterima sebagai alternatif pengganti fentanil dan obat NSAID non selektif parenteral jika diberikan sebagai preemtif. Penambahan ketamin dosis rendah (75-150 µg/kgbb) pada analgetik multimodal akan meningkatkan kerja analgetik pascabedah serta functional outcome setelah operasi orthopedi. Pada bedah rawat jalan nyeri sudah harus terkontrol dengan analgetik oral (seperti parasetamol, ibuprofen, parasetamol dengan codein) sebelum pasien dipulangkan. Ibuprofen 800 mg menghasilkan efek analgetik yang lebih baik dibanding parasetamol 800 mg dengan codein 60 mg bila diberikan setiap 8 jam selama 3 hari setelah bedah rawat jalan. Penggunaan ibuprofen secara signifikan juga jarang menyebabkan konstipasi, yang biasa terjadi setelah pemberian codein.
    Karena penggunaan NSAID yang non selektif (seperti ketorolak) berpengaruh terhadap perdarahan karena mengganggu aggregasi platelet, premedikasi dengan COX-2 inhibitor (seperti celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib) menjadi makin popular karena tidak berpengaruh terhadap fungsi aggregasi platelet. Pada penggunaan rutin, premedikasi oral dengan rofecoxib 50 mg, celecoxib 400 mg, atau valdecoxib 40 mg merupakan pendekatan yang sederhana dan cost-effective dalam meningkatkan pengendalian nyeri serta mempersingkat waktu pemulangan pasien pada bedah rawat jalan.
    Idealnya, analgetik non opioid multiple (seperti NSAID, parasetamol, COX-2 inhibitor) dapat dikombinasikan untuk mencapai pengelolaan nyeri yang optimal, serta mungkin tanpa penggunaan opioid.9
    Pemakaian anestesi lokal sebagai analgetik intraoperatif pada MAC juga pada anestesi umum dan anestesi spinal memberikan efek analgesi yang yang sangat baik pada awal pemulihan serta pemulangan pasien. Bahkan infiltrasi lokal pada luka/bekas jahitan meningkatkan analgesi pascabedah setelah operasi abdominal bawah, ektremitas, dan pembedahan laparoskopi.
    Teknik analgesi non farmakologi seperti elektroanalgesia (transcutaneus electrical nerve stimulation/TENS), akupunktur, serta percutaneus neuromodulation therapy juga dapat dipergunakan sebagai tambahan dalam pengelolaan nyeri pada bedah rawat jalan.
    Optimalisasi pengelolaan nyeri sangat diperlukan untuk memaksimalkan keuntungan bedah rawat jalan bagi pasien serta penyedia jasa kesehatan. Obat analgetik serta teknik pengelolaan nyeri non farmakologi yang aman, simpel, serta lebih murah sangat diperlukan dalam pengendalian nyeri yang cost-effective pada bedah rawat jalan.

Pengelolaan PONV
    Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) masih merupakan masalah yang umum pada bedah rawat jalan, dan kejadiannya 20-30% setelah pemberian anestesi umum dan dilaporkan masih terjadi pada 35% pasien setelah dipulangkan kerumah, sehingga mencegah PONV merupakan prioritas bagi pasien.2
    Society for Ambulatory Anesthesia/SAMBA mengeluarkan pedoman pengelolaan PONV. Faktor resiko kejadian PONV pada dewasa termasuk:
"    Faktor resiko yang berasal dari pasien: wanita, tidak merokok, riwayat PONV sebelumnya, dan mabuk perjalanan.
"    Faktor resiko anestesi: penggunaan volatile anestesi, pemakaian N2O, penggunaan opioid intraoperatif serta pascabedah.
"    Faktor pembedahan: lamanya pembedahan (setiap penambahan 30 menit durasi pembedahan akan meningkatkan resiko PONV 60%, sehingga resiko PONV 10% akan meningkat menjadi 16% setelah 30 menit), jenis pembedahan (laparoskopi, laparotomi, operasi payudara, strabismus, bedah plastic, maxillofacial, operasi ginekologi, abdomen, neurology, operasi mata, serta operasi urologi).
    Apfel dkk. Menyederhanakan faktor resiko PONV pada pasien dewasa dengan membuat suatu sistem skoring yang terdiri dari 4 kategori yaitu: wanita, tidak merokok, riwayat PONV dan penggunaan opioid pascabedah. Bila 0, 1, 2, 3, atau 4 faktor tersebut ada maka kejadian PONV adalah sekitar 10%, 20%, 40%, 60%, atau 80%. Strategi untuk mengurangi resiko PONV adalah:
"    Menghindari pemakaian anestesi umum, dengan menggunakan anestesi regional.
"    Penggunaan propofol untuk induksi serta rumatan anestesi.
"    Menghindari pemakaian N2O.
"    Menghindari pemakaian obat anestesi volatil
"    Meminimalkan pemakaian opioid intraoperatif dan pascabedah.
"    Meminimalkan pemakaian prostigmin
"    Pemberian cairan yang adekuat.
    Antiemetik yang digunakan sebagai profilaksis PONV pada pasien dewasa termasuk :
"    5-hydroxytryptamine (5-HT3) antagonist (seperti ondansetron, dolasetron, granisetron, dan tropisetron)
"    Steroid (seperti deksametason)
"    Phenothiazines (prometazin dan proklorperazin)
"    Penylethylamine (efedrin)
"    Butyrophenones (droperidol, haloperidol)
"    Antihistamin (dimenhidrinat)
"    Antikolinergik (skopolamin transdermal)
Obat-obat antiemetik ini direkomendasikan pada pasien dengan tingkat resiko moderat sampai resiko tinggi terhadap PONV.

Tabel 4. Dosis serta waktu pemberian obat antiemetik profilaksis

Dexamethasone    4-5 mg IV    At induction
Dimenhydrinate    1 mg/kg IV    End of surgery
Dolasetron    12.5 mg IV    End of surgery
Droperidol    0.625-1.25 mg IV    End of surgery
Ephedrine    0.5 mg/kg IM    End of surgery
Granisetron    0.35-1.5 mg IV    End of surgery
Haloperidol    0.5-2 mg IM/IV    End of surgery
Prochlorperazine    5-10 mg IM/IV    End of surgery
Promethazineb    6.25-25 mg IV    At induction
Ondansetron    4 mg IV    End of surgery
Scopolamine    Transdermal patch    Prior evening or 4 h before surgery
Tropisetron    2 mg IV    End of surgery

    Kombinasi lebih dari satu jenis profilaksis (multimodal) direkomendasikan pada pasien yang beresiko sedang sampai tinggi terjadinya PONV, dimana terdapat 2 atau lebih faktor resiko. Dalam kombinasi tersebut harus terdiri dari obat dengan mekanisme kerja yang berbeda-beda. Strategi multimodal juga termasuk penggunaan propofol dan teknik analgesi berbasis anestesi lokal, pemberian cairan yang adekuat, serta meminimalkan penggunaan opioid selama perioperatif.
    Penggunaan antiemetik profilaksis non farmakologi (akupunktur, transcutaneous electrical nerve stimulation, acupoint stimulation, dan acupressure) juga memperlihatkan hasil yang efektif dalam pengelolaan PONV.
    Jika PONV terjadi pascabedah, antiemetik yang diberikan sebagai terapi harus dengan farmakologi yang berbeda dari antiemetik profilaksis yang telah diberikan, antiemetik yang direkomendasikan adalah antagonis 5-HT3, terbukti adekuat pada terapi PONV. Dosis antagonis 5-HT3 yang digunakan untuk terapi lebih kecil dibanding dosis profilaksis: ondansetron 1,0 mg, dolasetron 12,5 mg, granisetron 0,1 mg, dan tropisetron 0,5 mg. Alternatif terapi lain adalah dexametason 2-4 mg, droperidol 0,625 mg IV, atau prometazin 6,25-12,5 mg IV. Propofol 20 mg dapat juga dipakai sebagai rescue therapy PONV pada pasien yang masih berada di PACU, sama efektifnya dengan ondansetron.
    Kejadian mual muntah setelah pasien dipulangkan juga cukup tinggi, 17% mengalami mual dan 8% mengalami muntah setelah pasien dipulangkan pada bedah rawat jalan. Untuk profilaksis kejadian ini dapat diberikan ondansetron 4 mg atau deksametason 4-10 mg. Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa pencegahan mual muntah setelah pemulangan cukup efektif dengan pemberian ondansetron disintegrating tablet/ ODT, acupoint stimulation, dan skopolamin transdermal. Ondansetron ODT terbukti secara signifikan mengurangi kejadian mual muntah setelah pemulangan pasien dan meningkatkan kepuasan pasien terhadap pengelolaan PONV pada bedah rawat jalan. Dosis ondasetron ODT yang digunakan sama dengan ondansetron tablet oral biasa, 8 mg.

Penatalaksanaan setelah pasien pulang dari rumah sakit
    Pasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab membawanya pulang dan menjaganya dirumah karena akan mengurangi kejadian adanya efek yang tidak diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien. Dianjurkan pasien harus diberikan instruksi tertulis tentang prosedur diet, obat, aktifitas, dan nomor telepon bila ada kejadian emergensi. Pasien secara rutin diminta untuk tidak minum alkohol, menyetir, membuat keputusan penting dalam 24 jam.
    Komplikasi pascabedah harus sudah tertangani sebelum pasien dipulangkan. Pengelolaan nyeri harus optimal dan analgetik peroral idealnya mampu memberikan analgesi yang adekuat setelah pasien dipulangkan. Strategi multimodal dalam pengelolaan nyeri memberikan hasil yang efektif dalam meningkatkan outcome pasien. Mual dan muntah setelah pasien dipulangkan dapat dicegah dengan pemberian ondansetron ODT.  Untuk hasil maksimal dalam penanganan mual dan muntah setelah pemulangan pasien, pencegahan mual muntah dengan obat antiemetik profilaksis sebelumnya harus efektif untuk mencegah kejadian PONV termasuk penerapan multimodal antiemetik khususnya pada pasien yang mempunyai resiko cukup tinggi terjadinya PONV. Faktor kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah rawat jalan. Faktor yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar bedah, diskusi ahli bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan, pengelolaan PONV dan nyeri pascabedah, pemasangan jalur vena yang adekuat, dan menghindari keterlambatan.

Kesimpulan
"    Kemajuan dalam bidang anestesi dan teknik pembedahan menyebabkan teknik bedah rawat jalan berkembang pesat, jumlah pasien bedah rawat jalan juga terus mengalami peningkatan.
"    Peranan ahli anestesi dalam pengelolaan perioperatif  sangat penting dalam tim bedah rawat jalan dalam mencapai keberhasilan teknik bedah rawat jalan.
"    Evaluasi pada setiap proses dalam anestesi pada bedah rawat jalan (evaluasi prabedah, skrining laboratorium, pemilihan obat dan teknik anestesi, efek pada outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah, serta pengaruh secara keseluruhan terhadap pelayanan) melahirkan kontroversi-kontroversi dalam rangka mencari strategi terbaik untuk meningkatkan kualitas bedah rawat jalan agar lebih cost-effectiveness, aman, serta tetap menjaga kualitas pelayanan sehingga menjamin kepuasan pasien.
"    Pendekatan multimodal serta penggunaan obat-obat dan teknik non farmakologi yang lebih aman, sederhana, dan lebih cost effective  dalam pengelolaan komplikasi pascabedah (nyeri dan mual muntah) akan memaksimalkan keuntungan teknik bedah rawat jalan serta outcome pasien yang lebih baik.

Daftar Bacaan
1.    Apfelbaum JL. Current controversies in adult outpatient anesthesia. ASA, 2005.
2.    Bisri T. Seri Buku Literasi Anestesiologi: Ambulatory anesthesia. 2007.
3.    Friedman Z, Chung F, Wong DT. Ambulatory surgery adult patient selection criteria-a survey of canadian anesthesiologists. Can J Anesth 2004; 51(5): 437-43.
4.    White PF. Update on ambulatory anesthesia. Can J Anesth 2005; 52(6): 1-10.
5.    White PF. Ambulatory anesthesia advances into the new millenium. Anesth Analg 2000; 90: 1234-35.
6.    McCarthy DE. Outpatient anesthesia. Jax-Medicine Journal 1998.
7.    Gupta A, Stierer T, Zuckerman R, Sakima N, Parker SD, Fleisher LA. Comparison of recovery profile after ambulatory anesthesia with propofol, isoflurane, sevoflurane and desflurane:a systematic review. Anesth Analg 2004; 98: 632-41.
8.    Wennervirta J, Ranta SO, Hynynen M. Awareness and recall in outpatient anesthesia. Anesth Analg 2002; 95: 72-77.
9.    White PF, Kehlet H, Neal JM, Schricker T, Carr DB, Carli F, et al. The role of the anesthesiologist in fast-track surgery: from multimodal analgesia to perioperative medical care. Anesth Analg 2007; 104: 1380-96.
10.    White PF, Song D. New criteria for fast-tracking after outpatient anesthesia: A comparison with the modified aldrete's scoring system. Anesth Analg 1999; 88: 1069-72.
11.    Marshall SI, Chung F. Discharge criteria and complications after ambulatory surgery.  Anesth Analg 1999; 88: 508-17.
12.    Pavlin DJ, Rapp SE, Polissar NL, Malmgren JA, Koerschgen M, Keyes A. Factors affecting discharge time in adult outpatient. Anesth Analg 1998; 87: 816-26.
13.    Pavlin DJ, Chen C, Penaloza DA, Polissar NL, Buckley FP. Pain as a factor complicating recovery and discharge after ambulatory surgery. Anesth Analg 2002; 95: 627-34.
14.    Raeder JC, Steine S, Vatsgar TT. Oral ibuprofen versus paracetamol plus codeine for analgesia after ambulatory surgery. Anesth analg 2001; 92: 1470-72.
15.    White PF. The role of  non-opioid analgesic techniques in the management of pain after ambulatory surgery. Anesth Analg 2002; 94: 577-85.
16.    Gan TJ, Meyer TA, Apfel CC, Chung F, Davis PJ, Habib AS, et al. Society for ambulatory anesthesia guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting. Anesth Analg 2007; 105: 1615-28.
17.    Gan TJ, Franiak R, Reeves J. Ondansetron orally disintegrating tablet versus placebo for the prevention of postdischarge nausea and vomiting after ambulatory surgery. Anesth Analg 2002; 94: 1199-1200.

Aspek Hukum Keselamatan Pasien (Patient Safety)

ASPEK HUKUM
MANAJEMEN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
Dr. Yendi


PENDAHULUAN
Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu organisasi yang sangat komplek karena padat modal, padat tehnologi, padat karya, padat profesi, padat sistem, dan padat mutu serta padat resiko sehingga tidak mengejutkan bila kejadian tidak diinginkan/KTD akan sering terjadi dan akan berakibat pada terjadinya injuri atau kematian pada pasien.
Dalam proses pemberian layanan kesehatan dapat terjadi kesalahan berupa kesalahan diagnosis, pengobatan, pencegahan, serta kesalahan sistem lainnya. Berbagai kesalahan tersebut pada akhirnya berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien. Hal ini berarti bahwa kesalahan dapat mengakibatkan cedera dan dapat pula tidak mengakibatkan cedera terhadap pasien.
Keamanan adalah prinsip yang paling fundamental dalam pemberian pelayanan kesehatan dan sekaligus aspek yang paling kritis dari manajemen kualitas. Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan resiko.
Menurut laporan dari Institute of Medicine (IOM) tahun 1999; To err is human, building a safer health system; di Amerika Serikat diproyeksikan terjadi 44.000 sampai dengan 98.000 kematian setiap tahun akibat dari medical error yang sebenarnya dapat dicegah, angka ini hampir empat kali lipat dari kematian akibat kecelakaan lalulintas. Laporan dari IOM tersebut mengejutkan banyak kalangan dunia kesehatan, bagaimana itu bisa terjadi?. Padahal sejak masa sebelum masehi, Hippocrates (bapak kedokteran modern) pernah mengemukakan ungkapan ”Primum non nocere” atau ”First, do no harm” (melayani tanpa harus membahayakan).
Karena itu, sejak ada laporan IOM tersebut berbagai negara mulai mengembangkan suatu gerakan yang disebut sebagai Patient Safety (Keselamatan Pasien). Lembaga kesehatan dunia (WHO) sendiri mendirikan lembaga World Alliance for Patient Safety baru pada tahun 2004 dan Indonesia mulai gerakan keselamatan pasien ini pada tahun 2005 yaitu dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).

GAMBARAN UMUM PATIENT SAFETY
Saat ini isu global yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan adalah keselamatan pasien (patient safety). Isu ini praktis mulai dibicarakan kembali pada tahun 2000an, sejak laporan dari Institute of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: To err is human, building a safer health system, yang memuat data menarik tentang Kejadian Tidak Diharapkan/ KTD (Adverse Event).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menegaskan pentingnya keselamatan dalam pelayanan kepada pasien sehubungan dengan data KTD di Rumah Sakit di berbagai negara menunjukan angka yang tidak kecil berkisar 3 - 16%. Gerakan keselamatan pasien dalam konteks pelayanan kesehatan saat ini diterima secara luas di seluruh dunia. WHO kemudian meluncurkan program World Alliance for Patient Safety pada tahun 2004. Di dalam program itu dikatakan bahwa keselamatan pasien adalah prinsip fundamental pelayanan pasien sekaligus komponen kritis dalam manajemen mutu.
Di Indonesia sendiri, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada tanggal 1 Juni 2005, dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien. Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit. Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit. Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, muncul berbagai tuntutan hukum kepada dokter dan rumah sakit. Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan penerapan sistem keselamatan pasien di rumah sakit. Keselamatan pasien sebagai suatu sistem di dalam rumah sakit sebagaimana dituangkan dalam instrumen standar akreditasi rumah sakit ini diharapkan memberikan asuhan kepada pasien dengan lebih aman dan mencegah cedera akibat melakukan atau tidak melakukan tindakan. Dalam pelaksanaannya keselamatan pasien akan banyak menggunakan prinsip dan metode manajemen risiko mulai dan identifikasi, asesmen dan pengolahan risiko. Pelaporan dan analisis insiden keselamatan pasien akan meningkatkan kemampuan belajar dari insiden yang terjadi untuk mencegah terulangnya kejadian yang sama dikemudian hari.

ASPEK HUKUM KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY)
Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk didalamnya asesmen resiko, identifikasi, dan manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien adalah keselamatan medis (medical errors), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near miss).
Menurut Institute of Medicine (IOM), Keselamatan Pasien (Patient Safety) didefinisikan sebagai freedom from accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error yang meliputi kegagalan suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai tujuan. Accidental injury juga akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission). Accidental injury dalam prakteknya akan berupa kejadian tidak diinginkan/KTD (adverse event) atau hampir terjadi kejadian tidak diinginkan (near miss). Near miss ini dapat disebabkan karena:
1. keberuntungan (misal : pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat)
2. pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan)
3. peringanan (suatu obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya)
Tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat global terhadap penerapan keselamatan pasien adalah:
1. Identify patients correctly
2. Improve effective communication
3. Improve the safety of high-alert medications
4. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery
5. Reduce the risk of health care-associated infections
6. Reduce the risk of patient harm from falls
Gerakan keselamatan pasien adalah suatu program yang belum lama diimplementasikan diseluruh dunia, karena itu masih dimungkinkan pengembangan dalam implementasinya. Di Indonesia, PERSI telah mensosialisasikan langkah-langkah yang dipakai untuk implementasi di rumah sakit seluruh Indonesia.
Langkah-langkah implementasi keselamatan pasien tersebut adalah:
1. Membangun budaya keselamatan pasien (Create a culture that is open and fair).
2. Memimpin dan mendukung staf (Establish a clear and strong focus on Patient Safety throughout your organization)
3. Mengintegrasikan kegiatan-kegiatan manajemen risiko (Develop systems and processes to manage your risks and identify and assess things that could go wrong)
4. Meningkatkan kegiatan pelaporan (Ensure your staff can easily report incidents locally and nationally)
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien (Develop ways to communicate openly with and listen to patients)
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien (Encourage staff to use root cause analysis to learn how and why incidents happen)
7. Menerapkan solusi-solusi untuk mencegah cidera (Embed lessons through changes to practice, processes or systems).
Bisnis utama rumah sakit adalah merawat pasien yang sakit dengan tujuan agar pasien segera sembuh dari sakitnya dan sehat kembali, sehingga tidak dapat ditoleransi bila dalam perawatan di rumah sakit pasien menjadi lebih menderita akibat dari terjadinya resiko yang sebenarnya dapat dicegah, dengan kata lain pasien harus dijaga keselamatannya dari akibat yang timbul karena error. Bila program keselamatan pasien tidak dilakukan akan berdampak pada terjadinya tuntutan sehingga meningkatkan biaya urusan hukum, menurunkan efisisiensi, serta kerugian lainnya.

Element keselamatan pasien terdiri dari:
• Adverse drug events (ADE)/ medication errors (ME)
• Restraint use
• Nosocomial infections
• Surgical mishaps
• Pressure ulcers
• Blood product safety/administration
• Antimicrobial resistance
• Immunization program
• Falls
• Blood stream – vascular catheter care
• Systematic review, follow-up, and reporting of patient/visitor incident reports

Pendekatan Penanganan KTD atau Error
Menurut James Reason dalam Human error management : models and management dikatakan ada dua pendekatan dalam penanganan error atau KTD.
1. pendekatan personal.
Pendekatan ini memfokuskan pada tindakan yang tidak aman, melakukan pelanggaran prosedur, dari orang-orang yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan (dokter, perawat, ahli bedah, ahli anestesi, farmasis dll). Tindakan tidak aman ini dianggap berasal dari proses mental yang menyimpang seperti mudah lupa, kurang perhatian, motivasi yang buruk, tidak hati-hati, dan sembrono. Sehingga bila terjadi suatu KTD akan dicari siapa yang berbuat salah.

2. Pendekatan sistem
Pemikiran dasar dari pendekatan ini yaitu bahwa manusia dapat berbuat salah dan karenanya dapat terjadi kesalahan. Disini kesalahan dianggap lebih sebagai konsekwensi daripada sebagai penyebab. Dalam pendekatan ini diasumsikan bahwa kita tidak akan dapat mengubah sifat alamiah manusia ini, tetapi kita harus mengubah kondisi dimana manusia itu bekerja.
Pemikiran utama dari pendekatan ini adalah pada pertahanan sistem yang digambarkan sebagai model keju Swiss. Dimana berbagai pengembangan pada kebijakan, prosedur, profesionalisme, tim, individu, lingkungan dan peralatan akan mencegah atau meminimalkan terjadinya KTD.

Penyebab utama terjadinya errors, antara lain:
1. Communication problems
2. Inadequate information flow
3. Human problems
4. Patient-related issues
5. Organizational transfer of knowledge
6. Staffing patterns/work flow
7. Technical failures
8. Inadequate policies and procedures
(AHRQ Publication No. 04-RG005, December 2003) Agency for Healthcare Research and Quality

PENDEKATAN KOMPREHENSIF PENGKAJIAN KESELAMATAN PASIEN
Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada struktur, lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang dan budaya.
1. Struktur
• Kebijakan dan prosedur organisasi : periksa apakah telah terdapat kebijakan dan prosedur tetap yang telah dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
• Fasilitas : Apakah fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan ?
• Persediaan : Apakah hal – hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di ruang emergency, ruang ICU.
2. Lingkungan
• Pencahayaan dan permukaan : berkontribusi terhadap pasien jatuh atau cedera
• Temperature : pengkondisian temperature dibutuhkan dibeberapa ruangan seperti ruang operasi, hal ini diperlukan misalnya pada saat operasi bedah tulang suhu ruangan akan berpengaruh terhadap cepatnya pengerasan dari semen
• Kebisingan : lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat tenaga kesehatan sedang memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien.
• Ergonomik dan fungsional : ergonomik berpengaruh terhadap penampilan seperti teknik memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Selain itu penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan fungsinya seperti pengaturan tempat tidur, jenis, penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan pasien.
3. Peralatan dan teknologi
• Fungsional : tenaga kesehatan harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari alat. Perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk mengoperasikan alat secara tepat dan benar.
• Keamanan : Alat–alat yang digunakan juga harus didesain penggunaannya dapat meningkatkan keselamatan pasien.
4. Proses
• Desain kerja : Desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang hal ini akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan research based practice yang diimplementasikan.
• Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan yang terus–menerus saat praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu sistem pengingat untuk mengurangi kesalahan.
• Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah tergambar saat ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien – pasien emergensi, oleh karena itu pada saat–saat tertentu waktu dapat menentukan apakah pasien selamat atau tidak.
• Perubahan jadual dinas tenaga kesehatan juga berdampak terhadap keselamatan pasien karena tenaga kesehatan sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan menyeluruh.
• Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan tindakan diagnostik atau ketepatan pengaturan pemberian obat seperti pada pemberian antibiotic atau trombolitik, keterlambatan akan mempengaruhi terhadap diagnosis dan pengobatan.
• Efisiensi : keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan memperpanjang waktu perawatan tentunya akan meningkatkan pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.
5. Orang
• Sikap dan motivasi ; sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja seseorang. Sikap dan motivasi yang negatif akan menimbulkan kesalahan-kesalahan.
• Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang.
• Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan kebutuhan dan masalah pasien. Tanpa perhatian yang penuh akan terjadi kesalahan–kesalahan dalam bertindak.
• Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : tenaga kesehatan memerlukan pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat–alat kesehatan dengan teknologi baru dan perawatan penyakit–penyakit yang sebelumnya belum tren seperti perawatan flu babi (swine flu).
• Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi ; kognitif sangat berpengaruh terhadap pemahaman kenapa terjadinya kesalahan (error). Kognitif seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara membuat keputusan, pemecahan masalah, dan mengkomunikasikan hal–hal yang baru.
6. Budaya
• Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan keselamatan pasien.
• Pilosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada pilosofi dan nilai yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan.
• Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang menerima laporan).
• Budaya melaporkan, terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat hambatan karena terbentuknya budaya blaming. Budaya menyalahkan (Blaming) merupakan phenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur komunikasi yang jelas.
• Staff : kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang penting adalah sistem kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf, membuat kebijakan dan mengantur personal termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan sakit.

PATIENT SAFETY DI INDONESIA
Indonesia memulai gerakan keselamatan pasien pada tahun 2005 yaitu dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien. Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit. Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit. Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah untuk menciptakan budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit, menurunkan KTD di rumah sakit, terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah :
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit.
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang saat ini digunakan mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Penilaian keselamatan yang dipakai Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit yang dikeluarkan oleh KARS.
Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut Departemen Kesehatan RI menganjurkan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yang terdiri dari:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung staf
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia untuk menerapkan Sembilan Solusi “Life-Saving” Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS masing-masing.
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication Names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek atau generik serta kemasan.
Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.
2. Pastikan Identifikasi Pasien.
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada bukan keluarganya, dan sebagainya.
Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini; standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien.
Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.
4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi.
Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur ’Time out” sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah.
5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.
6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai “home medication list”, sebagai perbandingan dengan daftar saat admisi, penyerahan dan/atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi; dan komunikasikan daftar tsb kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan.
7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail/rinci bila sedang mengerjakan pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan dan slang yang benar).
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah penlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui darah;dan praktek jarum sekali pakai yang aman.
9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi Nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs” tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan taangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik yang lain.

MANAJEMEN RISIKO PATIENT SAFETY
Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf medis rumah sakit sesuai kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar profesi dan standar pelayanan, namun potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap berpotensi mengalami cedera. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan memberikan perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, serta memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan rumah sakit.
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi.
Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian besarnya merupakan hasil belajar dari pengalaman dan menerapkannya kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari empat tahap, yaitu:
1. Risk Awareness.
Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-masing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko.
2. Risk control (and or Risk Prevention).
Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam menghindari dan atau meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya (control solution) baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi dampaknya.
Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain.
3. Risk containment
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.
4. Risk transfer
Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.
Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them). Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen tersebut diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko. Elemen-elemen untuk mencegah medical errors tersebut, adalah:
1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum “pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari.
2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik.
3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan keselamatan pasien.
4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya.
5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.
6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan baru.

TINJAUAN HUKUM KESELAMATAN PASIEN DI INDONESIA
Perlindungan kepentingan manusia merupakan hakekat hukum yang diwujudkan dalam bentuk peraturan hukum,baikperundangan-undangan maupun peraturan hukum lainnya. Peraturan hukum tidak semata dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan namun berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang diperintahkan oleh perundangan-undangan. Undang-undang sebagai wujud peraturan hukum dan sumber hukum formal merupakan alat kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat sebagai warga negara.
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan yang aman merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah Sakit secara tegas menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan insiden, menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah. Untuk pelaporan, rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit juga memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).
Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap karena UU Rumah Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu bersifat independen dan non struktural. Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan yang bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57).
Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Beberapa pasal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU Kesehatan tersebut adalah:
1. Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
3. Pasal 24 ayat (1), menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
4. Pasal 53 ayat (3), menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa pasien.
5. Pasal 54 ayat (1), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non diskriminatif.
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Tanggung Jawab Hukum Keselamatan Pasien
Kerugian yang diderita pasien serta tanggung jawab hukum yang ditimbulkannya berpotensi untuk menjadi sengketa hukum. Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan tentang keselamatan pasien.
Tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009:
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalam:
Pasal 46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
• Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit

Pasal 45 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
1. Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif.
2. Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.

KESIMPULAN
1. Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang terutama dalam pelayanan kesehatan agar memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dan aman.
2. Indonesia salah satu negara yang menerapkan keselamatan pasien sejak tahun 2005 dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Dalam perkembangannya Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.
3. Peraturan perundang-undangan memberikan jaminan kepastian perlindungan hukum terhadap semua komponen yang terlibat dalam keselamatan pasien, yaitu pasien itu sendiri, sumber daya manusia di rumah sakit, dan masyarakat. Ketentuan mengenai keselamatan pasien dalam peraturan perundang-undangan memberikan kejelasan atas tanggung jawab hukum bagi semua komponen tersebut.

Saran
1. Agar pemerintah lebih memperhatikan dan meningkatkan upaya keselamatan pasien dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan agar lebih bermutu dan aman dengan mengeluarkan dan memperbaiki aturan mengenai keselamatan pasien yang mengacu pada perkembangan keselamatan pasien (patient safety) internasional yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia.
2. Agar setiap rumah sakit menerapkan sistem keselamatan pasien dalam rangka meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan aman serta menjalankan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan untuk itu.
3. Agar seluruh komponen sarana pelayanan kesehatan bekerja sama dalam upaya mewujudkan patient safety karena upaya keselamatan pasien hanya bisa bisa dicapai dengan baik dengan kerjasama semua pihak.

KEPUSTAKAAN
1. Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. Dalam: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR, editor. Legal Medicine. Edisi ke-4. St Louis: Mosby; 1998.
2. Cahyono JBS. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktek kedokteran. Jakarta: Kanisius; 2008.
3. Departemen Kesehatan RI. Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient safety). Edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
4. Firmanda D. Keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit. [document on the internet]. Jakarta: RSUP Fatmawati; 2008 (diunduh 21 Desember 2010). Tersedia dari: http://www.scribd.com/doc/Dody-Firmanda-2008-Keselamatan-Pasien-Patient-Safety
5. Frankel A, Gandhi TK, Bates DW. Improving patient safety across a large integrated health care delivery system. International Journal for Quality in Health care. 2003; 15 suppl. I: i31 – i40.
6. Ghandi TK, Lee TH. Patient safety beyond the hospital. N Engl J Med. 2010; 363 (11): 1001-3.
7. Vincent C. Patient safety. Philadelphia: Elsevier; 2006.
8. Wachter RM, Shanahan J, Edmanson K, editor. Understanding patient safety. New York: McGraw-Hill Companies; 2008.
9. Weeks WB, Bagian JP. Making the business case for patient safety. Joint Commission on Quality and Safety. 2003; 29.
10. Wikipedia. Patient safety. [document on the internet]. Wikimedia Foundation: 2008 (diunduh 21 Desember 2010).Tersedia dari: http:// en.wikipedia.org/wiki/ patient_safety

Dasar hukum peraturan perundang-undangan:
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit